Dari Kesalahan Ketik Rp 2,1 Triliun Menuju Krisis Tata Kelola Bank Daerah

Oleh: GUID CARDI  (INSTITUT PAHLAWAN 12 BANGKA DAN ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA BANGKA BELITUNG)

0 14

Babeltoday.com, Bangka Belitung – Kasus kesalahan input data sebesar Rp 2,1 triliun di Bank Sumsel Babel (BSB) bukan sekadar selisih angka di laporan keuangan. Insiden ini merupakan gejala dari penyakit sistemik yang menggerogoti tata kelola perbankan daerah. Artikel ini mengupas sekilas bagaimana sebuah “kesalahan administratif” sederhana berpotensi menggoyang fondasi kesehatan bank melalui dampaknya terhadap Rasio Kecukupan Modal (CAR), serta mengungkap jaring-jaring kelemahan tata kelola yang diperparah dengan adanya kasus korupsi sebelumnya. Melalui pendekatan analisis kualitatif berbasis data sekunder yang tervalidasi, artikel ini menghubungkan titik-titik antara kesalahan operasional, risiko finansial, dan kegagalan penerapan prinsip entrepreneurship sektor publik. Temuan mengindikasikan bahwa BSB mengalami ketidakseimbangan dalam berinovasi dan pengendalian, dimana semangat kewirausahaan tidak diimbangi dengan penguatan sistem audit dan budaya integritas. Rekomendasi transformatif diajukan untuk membangun perbankan daerah yang lebih resilien, akuntabel, dan berorientasi pada nilai publik.

Kata Kunci: Tata Kelola Bank, CAR, Bank Sumsel Babel, Kesalahan Administratif, Risiko Sistemik

1. Pendahuluan: Dari Laporan Keuangan ke Ranah Hukum
Oktober 2025, dunia perbankan Indonesia dikejutkan oleh laporan Menteri Keuangan mengenai dana mengendap pemerintah daerah di perbankan yang mencapai ratusan triliun Rupiah. Di antara angka-angka fantastis tersebut, terselip data unik: Bank Sumsel Babel (BSB) dilaporkan memiliki dana mengendap dari Pemprov Babel sebesar Rp 2,1 triliun. Yang membuatnya menarik, Pemprov Babel langsung menyangkal dan menyatakan bahwa itu adalah “kesalahan input” dari pihak bank, (Media Indonesia. 28/10) Hingga saat ini, baik Menteri Keuangan dan Otorotas Bank Indonesia belum mengklarifikasi terkait kesalahan input tersebut. Artinya pernyataan Menteri Keuangan tersebut harus dianggap benar sampai ada klarifikasi dari yang bersangkutan. Jika demikian adanya maka menjadi kuat alasan bagi Aparat Penegak Hukum ( Kejaksaan atau KPK) untuk membuka secara terang benderang kemungkinan adanya perbuatan yang akan merugikan keuangan negara ( publik) ini.

Klaim “kesalahan administratif” untuk nilai sebesar Rp 2,1 triliun tentu mengundang tanya. Apakah mungkin sebuah bank, yang operasinya dibangun atas dasar kehati-hatian dan akurasi, melakukan kesalahan sefatal itu? Pertanyaan ini semakin kritis ketika menengok rekam jejak BSB yang tidak mulus, misalnya pada saat Mahkamah Agung membatalkan vonis bebas terhadap lima koruptor KUR Bank Sumsel Babel dan mengabulkan vonis kasus korupsi dana kredit petani Bangka Tengah. Selain itu, terdapat pula laporan polisi terkait dugaan manipulasi RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) bank yang sama, (Tempo,18/08).

Artikel ini akan menelusuri mengapa kesalahan input ini bukan hanya soal teknis belaka, melainkan sebuah lampu merah yang menyala terang yang menandai adanya masalah tata kelola (governance) yang sistemik, dan bagaimana masalah ini berpotensi menggerogoti kesehatan bank yang diukur melalui Rasio Kecukupan Modal (CAR)-nya.

2. Memahami CAR: “Tekanan Darah” bagi Kesehatan Bank

Sebelum menyelami kasusnya, penting untuk memahami konsep Capital Adequacy Ratio (CAR). Dalam dunia perbankan, CAR adalah ibarat “tekanan darah” yang menunjukkan seberapa sehat dan kuatnya bank tersebut. Secara teknis, CAR dihitung dengan membandingkan modal bank dengan aset-asetnya yang berrisiko (disebut Aset Tertimbang Menurut Risiko atau ATMR), ( Barkah , Rita Yuniarti,2025)

Rumusnya sederhana: CAR = (Modal Bank / ATMR) x 100%
Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 11/POJK.03/2016 (Otoritas Jasa Keuangan/OJK) mematok CAR minimum untuk bank umum adalah 8%. Namun, bank-bank yang sehat biasanya mempertahankan CAR jauh di atas angka minimal tersebut,(FEBRIANA,2023). Jika CAR sebuah bank turun terus-menerus, itu pertanda bank tersebut semakin menipis modalnya untuk menutupi risiko kegagalan dari kredit atau investasi yang dibiayainya. Pada titik kritis, bank bisa kolaps.

Lalu, apa kaitannya dengan kesalahan input data simpanan? Data simpanan nasabah (Dana Pihak Ketiga/DPK) adalah bahan baku bagi bank untuk menyalurkan kredit. Jika data DPK tidak akurat, bank dapat salah dalam memperkirakan kemampuan dan risiko penyaluran kreditnya. Kredit yang disalurkan akan meningkatkan ATMR. Jika ATMR membengkak karena kredit yang agresif, sementara modal tidak bertambah, maka CAR akan terjun bebas.

3. Mengurai Benang Kusut Tata Kelola BSB
Kasus Rp 2,1 triliun harus dilihat sebagai puncak dari gunung es. Analisis terhadap berbagai insiden yang menimpa BSB menggambarkan tiga pola kelemahan yang saling berkaitan:

3.1. Lemahnya Sistem Kontrol Internal
Kesalahan input data senilai triliunan rupiah mengindikasikan bahwa sistem validasi dan pemeriksaan (check and balance) di BSB sangat lemah. Dalam bank yang dikelola dengan baik, data sebesar itu harus melalui beberapa lapisan verifikasi sebelum dilaporkan ke otoritas. Kenyataan bahwa kesalahan ini terjadi dan terlanjur dilaporkan ke Bank Indonesia menunjukkan lubang besar dalam prosedur operasional standar.

3.2. Budaya “Non-Compliance” yang Telah Mengakar,
Putusan Mahkamah Agung yang menganulir vonis bebas lima koruptor KUR Bank Sumsel Babel dan mengabulkan kasasi kasus korupsi dana kredit petani semakin mengukuhkan bahwa masalah di BSB bukanlah insiden terisolir. Sebelumnya, seorang eks account officer BSB juga telah divonis penjara dalam kasus korupsi kredit fiktif. Teori “Fraud Triangle” dalam kriminologi menjelaskan bahwa kecurangan terjadi karena ada tekanan, kesempatan, dan pembenaran. Lemahnya pengawasan (baca: kesempatan) di BSB, ditambah dengan mungkinnya tekanan untuk mengejar target, menciptakan lingkungan yang subur untuk praktik-praktik tidak sehat.

3.3. Kegagalan Penerapan Entrepreneurship Sektor Publik
Sebagai BUMD, BSB seharusnya menerapkan prinsip entrepreneurship sektor publik yang menekankan penciptaan nilai publik, inovasi, dan akuntabilitas. Namun yang terjadi, semangat untuk berkembang dan berinovasi (entrepreneurship) tidak diimbangi dengan penguatan tata kelola dan kepatuhan. Akibatnya, yang muncul adalah “pseudo-entrepreneurship” yang hanya mengejar pertumbuhan tanpa membangun fondasi yang kokoh. Inovasi layanan dan ekspansi kredit dilakukan tanpa didukung oleh sistem teknologi dan budaya integritas yang memadai.

4. Dampak Berantai: Dari Kesalahan Input ke Ancaman Stabilitas

Lantas, bagaimana rangkaian kelemahan ini mengancam kesehatan BSB?
• Meningkatnya Risiko Operasional: Kesalahan input sebesar triliyunan rupiah itu dan berbagai kasus korupsi yang terus berulang – dari kasus KUR yang melibatkan lima koruptor hingga korupsi dana kredit petani – merupakan cerminan risiko operasional yang tinggi. Dalam perhitungan CAR modern, risiko operasional ini dapat berkontribusi pada peningkatan ATMR, yang langsung menekan rasio kecukupan modal.

• Kerusakan Reputasi dan Kepercayaan: Kepercayaan adalah mata uang utama perbankan. Pemberitaan negatif yang bertubi-tubi – termasuk pembatalan vonis bebas oleh MA – merusak reputasi BSB di mata nasabah dan investor. Jika nasabah menarik dananya secara massal (bank run), likuiditas bank akan terancam. Sementara itu, investor akan enggan menanamkan modal baru, yang justru sangat dibutuhkan untuk menjaga level CAR.

• Pengawasan Regulator yang Lebih Ketat: OJK pasti akan memperketat pengawasan terhadap BSB, terutama mengingat putusan MA yang menyoroti praktik korupsi sistemik di bank tersebut. Ini bisa berarti pemeriksaan yang lebih sering, pembatasan operasional tertentu, atau bahkan sanksi administratif. Semua ini dapat meningkatkan biaya compliance dan membebani kinerja keuangan bank, yang pada akhirnya mempengaruhi kemampuan bank untuk menghasilkan laba yang dapat ditahan sebagai modal.

5. Jalan Keluar: Menuju Transformasi Tata Kelola

Menyadari akar masalahnya, maka solusi yang dibutuhkan bukanlah perbaikan teknis semata, melainkan transformasi tata kelola secara komprehensif:

1. Revitalisasi Sistem Digital dan Kontrol Internal: BSB harus berinvestasi pada sistem teknologi informasi yang lebih modern dengan fitur automated audit trail dan red flags untuk transaksi atau data yang tidak wajar. Setiap data yang masuk harus melalui validasi multi-lapis.

2. Menanamkan Budaya Integritas dari Atas (Tone at the Top): Pimpinan bank, mulai dari Direksi dan Dewan Komisaris, harus menjadi contoh teladan dalam integritas dan kepatuhan. Program etika dan pelatihan anti-fraud harus digelar secara berkala dan menyeluruh. Sistem whistleblowing yang aman bagi karyawan untuk melapor juga mutlak diperlukan.

3. Penerapan Entrepreneurship yang Seimbang: Semangat kewirausahaan harus selaras dengan prinsip kehati-hatian. Inovasi produk dan ekspansi layanan harus didahului oleh kajian risiko yang mendalam dan diiringi dengan penguatan kapasitas sistem pengendalian internal.

6. Penutup: Belajar dari BSB untuk Masa Depan Perbankan Daerah

Kasus Bank Sumsel Babel adalah pelajaran berharga bagi seluruh pemangku kepentingan perbankan daerah. Sebuah “kesalahan ketik” senilai Rp 2,1 triliun mengungkap borok-borok tata kelola yang selama ini mungkin tersembunyi di balik laporan keuangan yang tampak sehat.

Masalahnya bukan lagi pada selisih angkanya, melainkan pada sistem yang membiarkan kesalahan sebesar itu terjadi, dan pada budaya yang memungkinkan berbagai kasus korupsi sistemik seperti yang tercermin dalam putusan MA yang menganulir vonis bebas para koruptor tumbuh subur. Jika dibiarkan, kelemahan sistemik ini bukan hanya akan membahayakan BSB sendiri, tetapi juga dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan daerah dan merugikan masyarakat yang mempercayakan dananya.

Oleh karena itu, langkah transformatif yang berani dan komitmen yang kuat dari jajaran pemimpin bank, pemegang saham (pemerintah daerah), dan otoritas pengawas mutlak diperlukan. Hanya dengan begitu, perbankan daerah dapat benar-benar menjalankan fungsinya sebagai motor penggerak ekonomi daerah yang sehat, andal, dan berkelanjutan. (Red/*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.