Babeltoday.com, Pangkalpinang – Edi Irawan, resmi mengajukan gugatan ke Komisi Informasi Daerah (KID) Kepulauan Bangka Belitung. Gugatan ini dilayangkan setelah permintaannya terkait dokumen publik di Balai Wilayah Sungai (BWS) Bangka Belitung tak kunjung dipenuhi. Senin (15/9/2025).
Langkah Edi muncul di tengah sorotan publik terhadap BWS Babel, menyusul penahanan empat pejabatnya, yakni RS, K, MSA, dan OA, dalam kasus dugaan korupsi dana pemeliharaan rutin sumber daya air. Kasus tersebut menambah catatan kelam lembaga yang berada di bawah Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR.
Menurut Edi, pihaknya hanya meminta naskah akademik dan kajian teknis terkait Kolam Retensi Kacang Pedang di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang. Kolam ini berfungsi menampung limpasan air dari Kabupaten Bangka Tengah dan sebagian besar wilayah Pangkalpinang. Ia juga meminta gambar kerja dalam format Autocad untuk menghitung ulang kapasitas tampung kolam retensi tersebut.
“Semua lepas tangan, tidak ada instansi yang mengaku memiliki data itu. Padahal ini informasi publik. Masa alasan ilmiah saja tidak boleh diketahui masyarakat? Bukankah pejabat seharusnya pelayan, bukan penguasa?” kata Edi saat ditemui wartawan, Senin sore.
Permintaan tersebut ia landaskan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bagi Edi, keterbukaan informasi merupakan syarat mutlak tata kelola negara yang sehat. “Tanpa keterbukaan, publik hanya dijejali kepalsuan. Yang ditampilkan ke masyarakat sekadar sandiwara, sementara yang diberikan ibarat makanan basi, tidak bisa ditelan,” ujarnya.
Edi dikenal sebagai pemuda yang aktif menyuarakan isu pendidikan dan keterbukaan informasi. Gugatan ke KID ini menjadi salah satu upaya hukum yang ia tempuh untuk memastikan hak masyarakat atas informasi dijalankan sebagaimana mestinya.
Kasus ini menambah sorotan terhadap BWS Babel. Setelah pejabatnya ditahan akibat dugaan korupsi, kini lembaga tersebut berhadapan dengan gugatan masyarakat terkait keterbukaan informasi.
Bagi aktivis, akademisi, dan mahasiswa, langkah Edi bisa menjadi preseden bahwa hak atas informasi publik bukan sekadar jargon, melainkan instrumen nyata untuk mengawasi birokrasi. Gugatan ini sekaligus menguji komitmen lembaga negara dalam melaksanakan prinsip transparansi.
Apabila KID mengabulkan tuntutan Edi, BWS Babel wajib menyerahkan dokumen yang diminta. Jika tidak, kasus ini berpotensi berlanjut ke jalur hukum lain. Publik kini menanti, apakah mekanisme keterbukaan informasi benar ditegakkan, atau justru kembali terkubur di ruang birokrasi yang enggan transparan. (Red/*)