Izin Pertambangan Rakyat dan Reposisi Peran Negara dalam Mengelola Mineral untuk Kesejahteraan Sosial
Penulis Opini : Suci Ramadhani (Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung)
Babeltoday.com, Bangka Belitung – Diskusi mengenai Izin Pertambangan Rakyat (IPR) sering kali hanya berhenti pada aspek izin semata. Padahal, jauh lebih besar dari itu, IPR sebenarnya mencerminkan bagaimana negara memposisikan rakyat dalam struktur pengelolaan sumber daya mineral.
Di tengah berkembangnya kapital besar di sektor tambang, IPR adalah instrumen yang dirancang untuk memastikan bahwa masyarakat lokal tidak tersisih dari kekayaan alam yang berada di tanah mereka sendiri.
Konsep IPR memberikan ruang legal bagi masyarakat untuk menambang dalam skala terbatas, di wilayah yang memang diperuntukkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Secara filosofis, kebijakan ini merupakan wujud kedaulatan negara yang berpihak pada keadilan distributif: sumber daya alam bukan hanya untuk pelaku usaha bermodal besar, tetapi juga untuk warga yang hidup berdampingan dengan wilayah tambang. Namun, potensi besar IPR selama ini belum sepenuhnya terwujud. Salah satu akar persoalan terletak pada penataan wilayah.
Masih banyak daerah dengan aktivitas tambang rakyat aktif, tetapi belum ditetapkan sebagai WPR. Alhasil, masyarakat bekerja untuk menyambung hidup, tetapi posisinya di mata hukum seolah pelaku pelanggaran. Kondisi ini menimbulkan ironi: rakyat menggali sumber daya milik negara, tetapi negara hadir bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai penindak.
Di saat yang sama, birokrasi pengurusan IPR masih dianggap tidak sederhana. Keterbatasan pendampingan, minimnya pemahaman teknis mengenai lingkungan, hingga lemahnya akses pembiayaan membuat masyarakat kerap kesulitan mengelola tambang secara berkelanjutan.
Ketika legalitas sulit diraih, praktik ilegal justru berkembang, yang pada akhirnya merugikan lingkungan dan masyarakat sendiri.
Oleh karena itu, pembenahan IPR tidak cukup hanya dengan menerbitkan izin lebih banyak. Yang dibutuhkan adalah ekosistem pertambangan rakyat yang sehat.
Negara perlu menetapkan WPR secara rasional, memberikan pelatihan teknologi tambang bersih, membuka akses kesejahteraan bagi keluarga penambang, menata pemasaran hasil tambang, hingga menciptakan kemitraan adil antara penambang rakyat dan pelaku industri besar. Jika IPR diproyeksikan sekadar pengakuan administratif, ia kehilangan makna.
Namun bila IPR dijalankan sebagai agenda nasional untuk memberdayakan masyarakat sekitar pertambangan, ia menjadi instrumen strategis untuk mengurangi kesenjangan sosial, meningkatkan pendapatan masyarakat, sekaligus menjaga sumber daya alam agar tidak habis dieksploitasi oleh segelintir pihak.
Pertambangan tidak harus identik dengan ketimpangan. IPR adalah peluang untuk membuktikan bahwa pengelolaan mineral dapat berjalan dengan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Rakyat bukan hanya objek tambang — mereka adalah subjek hukum yang berhak mendapatkan manfaat nyata dari kekayaan alam negeri ini. (Red/*)