Babeltoday.com – Tulisan ini membahas fenomena kebijakan baru China yang membatasi pembahasan topik sensitif hanya kepada profesional bersertifikat. Dari sudut pandang akademik, kebijakan tersebut bukan bentuk represi, tetapi langkah menjaga higiene intelektual publik. Penulis mengusulkan agar Indonesia juga mengembangkan sistem verifikasi kompetensi bagi pembicara publik di bidang-bidang berisiko seperti keuangan, hukum, dan kesehatan, demi mencegah krisis pengetahuan dan maraknya disinformasi.
China baru saja mengeluarkan kebijakan yang memantik perdebatan global: hanya individu dengan kualifikasi profesional terverifikasi yang boleh membahas isu serius seperti keuangan, kesehatan, pendidikan, hukum, dan obat-obatan. Sekilas, langkah ini tampak otoriter—seolah ingin membungkam kebebasan berbicara. Namun bila dilihat dengan jernih, kebijakan tersebut justru mencerminkan upaya menegakkan higiene intelektual di ruang publik.
Kita hidup di era ketika kebisingan menggantikan kredibilitas. Semakin lantang suara seseorang, semakin dipercaya publik, bukan karena argumennya benar, tetapi karena tampilannya meyakinkan. Era media sosial telah mengaburkan batas antara popularitas dan kompetensi. Kita sedang menyaksikan epistemic crisis—krisis pengetahuan—di mana kepercayaan publik lebih condong pada kepercayaan diri, bukan kebenaran.
Padahal, isu seperti kesehatan, keuangan, hukum, dan pendidikan bukan sekadar opini. Salah informasi di bidang-bidang ini bisa menyebabkan seseorang kehilangan harta, masa depan, bahkan nyawa. Dalam konteks ini, kebijakan China sesungguhnya bukan soal membatasi kebebasan, melainkan soal menjamin akuntabilitas pengetahuan.
Yang mereka lakukan bukan mengharuskan gelar akademik, tetapi verifikasi kompetensi profesional. Seorang yang ingin berbicara tentang investasi, misalnya, wajib memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau sertifikasi pasar modal. Influencer yang memberi nasihat gizi wajib menunjukkan nomor registrasi tenaga gizi. Pengajar daring wajib menampilkan portofolio akademik yang bisa diverifikasi publik.
Tujuannya bukan membungkam siapa pun, tapi agar masyarakat tahu kapasitas pembicara. Bila seseorang tidak memiliki sertifikasi, ia tetap boleh berbicara, namun kontennya harus dilabeli secara jujur:
⚠️ Personal opinion, not professional advice.
Di Indonesia, langkah semacam ini justru semakin mendesak. Ruang publik kita kini penuh dengan content creator yang membahas isu medis, hukum, bahkan politik, tanpa dasar akademik atau izin profesi. Banyak yang membentuk opini publik berdasarkan pengalaman pribadi atau narasi emosional, bukan bukti ilmiah.
Akibatnya, publik menjadi bingung membedakan antara ilmu dan ilusi, antara data dan drama. Dan lebih parah, ketika yang tidak tahu diberi panggung, mereka bukan hanya menyesatkan, tapi juga bisa membahayakan.
Sudah saatnya Indonesia menata ulang ekosistem komunikasinya dengan prinsip “transparansi kredensial.” Kebebasan berekspresi harus berjalan seiring dengan tanggung jawab profesional. Media massa, platform digital, dan lembaga negara perlu bersinergi menciptakan sistem verifikasi publik bagi narasumber yang membahas topik berisiko tinggi.
Karena pada akhirnya, masalah terbesar bukan orang bodoh yang diam, tapi orang tanpa kompetensi yang percaya dirinya tinggi dan diberi mikrofon. Dan ketika mikrofon berpindah ke tangan yang salah, bukan hanya kebenaran yang kalah—tetapi juga keselamatan publik yang dipertaruhkan. (Red/*)
Tentang Penulis:
dr. Armayani Rusli, Sp.B., M.Si adalah dokter spesialis bedah dan pemerhati kebijakan kesehatan publik. Pernah menjabat sebagai Direktur RSUD Sungai Dareh (2014–2016) dan aktif menulis opini tentang manajemen rumah sakit, kebijakan kesehatan, dan reformasi pembiayaan JKN.
 
			
