Mengurai Regulasi PLTN Thorcon: Wawancara Eksklusif yang Menjawab Misinformasi Energi Nuklir

0 10

Babeltoday.com, Jakarta — Jejaring Media KBO Babel berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan Andri Yanto, pemerhati isu energi nasional yang belakangan menjadi sorotan publik setelah opininya mengenai PLTN Thorcon 500 ramai diperbincangkan. Melalui percakapan tersebut, Andri meluruskan sejumlah kekeliruan pemberitaan yang menyinggung proses perizinan PLTN di Indonesia. Rabu (10/12/2025).

Menurut Andri, dorongan untuk menulis tanggapan muncul ketika ia melihat beberapa media menyebut Thorcon “tidak mampu menunjukkan tiga lisensi”—yakni license to design, license to construct, dan license to operate. Ia menegaskan bahwa istilah tersebut tidak dikenal dalam regulasi Indonesia, sehingga klaim itu tidak berdasar.

“Isu energi nuklir sangat sensitif. Sedikit saja informasi keliru bisa berkembang luas. Dalam regulasi kita, istilah-istilah tersebut memang tidak ada. Karena itu saya merasa perlu meluruskan,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa kerangka perizinan PLTN telah diatur secara rinci dalam Peraturan BAPETEN Nomor 1 Tahun 2022, yang membagi proses perizinan ke dalam lima tahap berurutan: Izin Tapak, Izin Konstruksi, Izin Komisioning, Izin Operasi, dan Izin Dekomisioning. Tahapan tersebut harus dilalui satu per satu dan tidak dapat dilompati.

“Tidak mungkin mengajukan Izin Operasi kalau Izin Tapak saja belum ada. Ini yang sering disalahpahami,” katanya.

Menanggapi klaim bahwa Thorcon belum memiliki “tiga lisensi”, Andri menjelaskan bahwa hal itu memang mustahil karena tahapannya belum sampai ke arah tersebut. Ia mencontohkan bahwa license to design tidak ada dalam sistem Indonesia, sedangkan Design Information Questionnaire (DIQ) baru dibutuhkan ketika memasuki Izin Konstruksi, bukan pada fase evaluasi tapak saat ini.

“Jadi pernyataan itu bukan hanya tidak tepat, tapi keliru secara regulasi,” tegasnya.

Saat ini, menurut Andri, posisi Thorcon masih berada pada tahap pertama, yaitu Izin Tapak. Sejak BAPETEN menyetujui dokumen PET–SMET pada 30 Juli 2025, perusahaan tengah melanjutkan penelitian geologi, seismologi, dan kajian lingkungan, termasuk penyusunan AMDAL serta pemenuhan kesesuaian tata ruang.

“Setelah Izin Tapak selesai barulah mereka dapat beralih ke konstruksi dan tahapan berikutnya,” jelasnya.

Di tengah perdebatan publik mengenai keamanan PLTN, Andri mengajak masyarakat merujuk pada data ilmiah. Ia mengutip data death per TWh dari Our World in Data yang menempatkan energi nuklir sebagai salah satu sumber energi teraman di dunia—lebih aman daripada angin dan hanya sedikit di atas tenaga surya.

“Jawabannya harus berdasarkan data, bukan perasaan,” ucapnya.

Andri juga menekankan bahwa kebutuhan energi di Bangka Belitung menuntut keberadaan pembangkit baseload yang besar, stabil, dan efisien. Menurutnya, PLTN menjadi opsi rasional untuk mendukung industrialisasi dan menurunkan biaya energi.

“Surya memang potensial, tapi untuk kebutuhan industri, ia mahal dan intermiten. Bukan baseload,” tuturnya.

Ia menyinggung bagaimana Indonesia kerap kehilangan momentum teknologi akibat kampanye ketakutan, termasuk kasus penghentian pengembangan pesawat N-250 pada 1998. Andri menilai mindset seperti itu masih terlihat dalam perdebatan soal nuklir.

“Indonesia sering jadi pasar, bukan penguasa teknologi. Inilah yang ingin saya ubah: kita perlu rasa ingin tahu, bukan takut,” katanya.

Menutup wawancara, Andri menyampaikan bahwa rencana PLTN Thorcon adalah peluang besar yang harus dilihat dengan kepala dingin. Menurutnya, prosesnya masih panjang dan seluruh tahapan berada dalam pengawasan ketat BAPETEN.

“Kemajuan kadang muncul bukan karena kita berani mengambil risiko besar, tapi karena kita berani memahami apa yang selama ini kita takutkan,” pungkasnya. (Red/*)

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.