PLTN: Teknologi yang Sudah Move On, Tapi Publiknya Masih Baper
Oleh: Faidatul Hikmah-Mahasiswa Magister Hukum Universitas Bangka Belitung
Babeltoday.com, Bangka Belitung – Ada satu ironi besar dalam perdebatan energi di Indonesia teknologinya sudah move on, tapi publiknya masih baper. Benar, PLTN generasi sekarang sudah pakai sistem keselamatan pasif, reaktornya modular, bisa mati sendiri kalau panas, bisa dingin sendiri tanpa listrik—pokoknya lebih mandiri daripada sebagian besar mantan.
Tapi tetap saja, setiap kali muncul wacana PLTN, komentar-komentar yang muncul seperti:
“Plis deh, jangan-jangan nanti kaya Chernobyl?”
“Indonesia rawan gempa!”
“Saya mah masih trauma sama radiasi.”
Lucunya, mereka trauma radiasi, tapi tiap bulan selfie pakai sinar-X gigi di klinik gigi tidak masalah. Radiasi PLTN takut, radiasi ponsel 12 jam sehari santuy.
Radiasi matahari yang bikin kulit gosong pun dicium tiap pagi pakai skincare SPF 50. Fenomena ini menarik, sekaligus… lucu.
Kalau energi fosil adalah masalahnya, maka publik kita kadang lebih takut pada solusinya daripada masalahnya.
Yang sering dilupakan orang adalah PLTN hari ini bukan PLTN tahun 1986. Ibarat smartphone, teknologi reaktor sekarang sudah iPhone 17, tetapi publik masih menilai dari Nokia 3310 yang jatuh ke lumpur Chernobyl. Bedanya, Nokia legend itu bisa pecah dan menyebar serpihan, sementara reaktor modern justru kalau jatuh ke lumpur pun… tetap aman. Karena memang dibuat untuk tidak meledak kecuali melawan hukum fisika.
Tapi stigma lebih kuat daripada logika. Publik berkata: “Saya gak mau rumah saya dekat PLTN, nanti meledak!” Padahal rumahnya 200 meter dari SPBU, yang tiap hari diisi truk penuh BBM.
Publik seperti orang yang takut naik pesawat tapi berani naik motor 120 km/jam
PLTN itu seperti pesawat, Sistem keselamatannya kompleks. Desainnya penuh redundansi. Peluang kecelakaannya sangat kecil. Tapi publik tetap takut. Padahal motor, yang risikonya ribuan kali lebih tinggi, mereka tancap gas tanpa helm.
Begitu pula PLTN, Risiko nyatanya rendah, tapi risiko bayangannya tinggi. Dan sayangnya, yang lebih didengar adalah bayangan.
Jika PLTU adalah mantan toxic, maka PLTN adalah calon pasangan ideal yang datang membawa masa depan cerah. Tapi publik kita? Tetap memilih mantan toxic karena katanya “sudah terbiasa”.
PLTU bikin udara kotor, batuk-batuk, PM2.5 tinggi. Namun yang disalahkan malah reaktor yang bahkan belum dibangun.
Kalau logika ini dipakai dalam kehidupan sehari-hari, bentuknya seperti “Aku tahu dia nyakitin aku, tapi aku belum siap sama yang lebih baik.” —Publik, tentang energi bersih.
Energi fosil itu kipas angin lama, bising, boros, hanya meniup angin panas. PLTN itu AC inverter yaitu dingin, stabil, hemat.
Tapi publik? Takut listrik naik, takut ruangan bocor, takut teknisi palsu. Mereka lupa bahwa AC inverter justru menghemat tagihan, dan reaktor modern justru dibuat agar tidak memerlukan operator panik untuk tetap aman.
Setiap negara yang ingin membangun PLTN pasti berhadapan dengan komunitas horor dadakan yang muncul dari segala penjuru. Ada yang bilang: “Nanti bisa bikin orang mutasi.” “Nanti lautnya panas.” “Nanti bumi retak.”
Padahal, sebagian besar hoaks ini lahir dari imajinasi campur aduk, sedikit dokumenter, ditambah film Hollywood, ditambah status Facebook tahun 2012.
Informasi PLTN itu seperti ilmu fisika, Tepat, terukur, dan jelas. Tapi warganet lebih percaya hal-hal seperti “radiasi bikin ikan jadi monster”.
Kalau PLTN betulan bisa bikin mutasi, jujur saja Indonesia sudah lama punya superhero.
Publik ingin badan ideal, tapi ogah olahraga. Publik ingin nilai bagus, tapi malas belajar.
Publik ingin masa depan maju, tapi menolak pondasi yang membuatnya maju.
Begitu juga energi.
Ingin listrik murah, tapi menolak pembangkit murah. Ingin energi bersih, tapi menolak pembangkit bersih. Ingin Indonesia maju, tapi menolak teknologi maju.
Kalau semua ditolak, energi mau datang lewat teleportasi?
Ada banyak pembangkit energi, dan semuanya punya drama masing-masing diantaranya;
PLTU: asap tebal, ribut batubara.
PLTD: BBM mahal, suara berisik.
PLTA: butuh bendungan besar.
PLTS: cuaca kadang PMS.
PLTB: butuh angin mood bagus.
Sementara PLTN?
Justru yang paling tidak drama.
Stabil, konstan, tidak terpengaruh cuaca, tidak bikin polusi.
Tapi reputasinya dramatis — karena tiga huruf: N, U, K. Publik sudah takut duluan sebelum membaca data.
Harga bangun PLTN mahal? Iya.
Tapi biaya operasionalnya sangat rendah. Ibarat makan di restoran all-you-can-eat. Bayar mahal di awal, tapi kenyang, stabil, dan puas sampai malam. Sedangkan PLTD itu seperti jajan di minimarket setiap kali lapar, Murah per transaksi, tapi mahal kalau dijumlahkan.
Dan pulau-pulau kecil kita? Selama ini makanannya adalah “indomie listrik diesel” — enak sesaat, mahal selamanya.
Publik Tidak Salah—Mereka Hanya Ditakut-takuti Terlalu Lama
Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat sepenuhnya. Puluhan tahun narasi yang beredar selalu negatif. PLTN tidak pernah masuk kurikulum. Program TV lebih suka sensasi daripada edukasi. Dan sebagian pihak memang hidup dari menjual ketakutan. Masyarakat kita bukan anti-sains. Mereka hanya dikepung cerita horor yang dibungkus rapi.
Tugas kita bukan memaksa publik menerima PLTN. Tugas kita adalah menjelaskan kenapa PLTN dibutuhkan. Menghadirkan data, bukan drama. Membangun kepercayaan, bukan menakut-nakuti. Dan yang terpenting, Menggeser ketakutan irasional menjadi pemahaman rasional.
Teknologi sudah berlari, tapi publik masih tersandung rumor. PLTN sudah move on, tapi sebagian orang masih terjebak masa lalu. Namun bangsa yang ingin maju tidak boleh dikuasai oleh trauma, rumor, dan hoaks.
Kita tidak akan pernah mencapai masa depan energi yang stabil jika ketakutan terus menjadi kompas. Pada akhirnya, ini bukan soal PLTN saja. Ini soal keberanian sebuah bangsa untuk berkata “Kami siap maju berdasarkan pengetahuan, bukan ketakutan.” (red/*)