PT 20% Dibatalkan, Yusril: Tak Mungkin Aturan Baru Batasi Jumlah Capres tanpa Langgar Putusan MK
BabelToday.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ketentuan presidential threshold (PT) 20% melalui putusan perkara nomor 62/PUU-XXI/2023. Namun, putusan ini menimbulkan perdebatan baru terkait potensi membeludaknya jumlah calon presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh partai politik peserta Pemilu. Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menilai bahwa tidak memungkinkan membuat aturan baru yang membatasi jumlah capres tanpa melanggar keputusan MK. Sabtu (4/1/2025)
“Kalau membaca pertimbangan hukum dan diktum putusan, tidak mungkin membuat norma baru untuk membatasi jumlah capres, karena hal itu, baik langsung maupun tidak langsung, akan mengembalikan presidential threshold yang justru sudah dibatalkan oleh MK,” kata Yusril saat dihubungi pada Jumat (3/1/2025).
Yusril menegaskan, putusan MK memberikan hak penuh kepada setiap partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Menurutnya, hal ini menjadi dasar yang tidak boleh dilanggar oleh pembuat undang-undang.
“MK tegas menyatakan setiap parpol peserta Pemilu berhak mencalonkan capres. Kalau mereka mau bergabung mencalonkan seseorang, silakan bergabung,” ucapnya.
Meski demikian, Yusril juga menyoroti arahan MK yang meminta agar koalisi partai politik tidak mendominasi jalannya Pemilu Presiden (Pilpres). Panduan ini dinilai penting untuk dijadikan perhatian dalam perumusan revisi undang-undang.
“Panduan MK justru memberikan arahan agar jika parpol-parpol bergabung mencalonkan capres-cawapres agar jangan sampai mendominasi. Di sinilah pembatasan itu perlu sampai maksimum berapa persen dari total parpol peserta Pemilu bisa bergabung mencalonkan seseorang capres. Ini yang perlu dirumuskan secara hati-hati agar norma UU yang nanti dibuat tidak bertabrakan dengan putusan MK ini,” jelas Yusril.
Lebih lanjut, Yusril menyampaikan kekhawatirannya mengenai kemungkinan mayoritas partai politik membentuk satu koalisi besar yang mendominasi Pilpres. Ia mengusulkan perlunya batasan yang tegas untuk mencegah dominasi seperti itu, agar Pemilu tetap memberikan ruang kompetisi yang sehat.
“Jangan sampai parpol peserta Pemilu bergabung tanpa batas. Misal ada 20 parpol ikut Pemilu, lantas 19 partai gabung ajukan satu paslon, sisa satu partai yang hanya bisa ajukan satu calon lagi, akhirnya hanya ada dua paslon saja. Ini yang harus dipikirkan bagaimana membatasi gabungan partai agar tidak mendominasi seperti dikatakan MK,” paparnya.
Menurutnya, pembatasan koalisi tersebut menjadi solusi untuk mencegah situasi tidak ideal dalam demokrasi, di mana jumlah kandidat terlalu sedikit atau tidak mencerminkan keberagaman aspirasi politik masyarakat.
Sebelumnya, MK membacakan putusan yang membatalkan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam keputusan tersebut, MK menyatakan bahwa norma yang mengatur ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1).
Selain itu, MK juga meminta pemerintah dan DPR RI untuk melakukan rekayasa konstitusional dalam merevisi UU Pemilu. Tujuannya adalah untuk memastikan agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak terlalu banyak sehingga tetap menciptakan kompetisi yang sehat.
Putusan MK ini memberikan tantangan besar bagi pemerintah dan DPR RI dalam menyusun revisi undang-undang. Di satu sisi, revisi tersebut harus mampu mengakomodasi hak partai politik untuk mencalonkan pasangan capres-cawapres. Di sisi lain, revisi juga harus mencegah potensi dominasi politik oleh koalisi besar yang justru berlawanan dengan prinsip demokrasi.
Menurut Yusril, proses legislasi ini memerlukan pendekatan yang hati-hati agar tidak bertentangan dengan putusan MK.
“Ini yang perlu dirumuskan secara hati-hati agar norma UU yang nanti dibuat tidak bertabrakan dengan putusan MK ini,” pungkasnya.
Dengan adanya putusan ini, masa depan sistem Pemilu Presiden Indonesia akan bergantung pada bagaimana pemerintah dan DPR RI merespons tantangan ini dalam perumusan undang-undang yang baru. (Sumber: Detik, Editor: KBO-Babel)