Tambang Ilegal Menggerogoti Negeri: Mendesak Reformasi Izin Usaha Pertambangan yang Lebih Tegas dan Transparan
Penulis Opini : Aliya Hasnita
Babeltoday.com, Bangka Belitung – Ledakan pembangunan infrastruktur dan kebutuhan bahan tambang nasional memang tidak dapat dihindari. Namun di balik geliat ekonomi itu, Indonesia tengah menghadapi ancaman serius: masifnya penambangan ilegal yang merusak lingkungan, menggerogoti penerimaan negara, dan memicu konflik sosial di berbagai daerah.
Berbagai operasi penertiban sudah dilakukan, tetapi tampaknya akar masalah belum tersentuh. Di sinilah sistem perizinan usaha pertambangan harus dievaluasi, diperketat, dan direformasi secara menyeluruh.
Penambangan ilegal bukan sekadar aktivitas tanpa izin; ia merupakan kejahatan terorganisir yang sering melibatkan jaringan cukong, oknum aparat, hingga korporasi yang menyalahgunakan celah hukum.
Banyak pelaku tambang nakal memanfaatkan lemahnya pengawasan di daerah, ketidakjelasan status lahan, serta proses perizinan yang panjang dan rawan manipulasi.
Tidak jarang, perusahaan yang mengantongi izin eksplorasi sudah melakukan kegiatan produksi, sementara sebagian lainnya bersembunyi di balik izin palsu, kerja sama abu-abu, atau modus rental izin perusahaan lain.
Situasi ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada masih jauh dari efektif.
Dampak yang ditimbulkan pun sangat mengkhawatirkan. Kerusakan hutan dan pencemaran sungai semakin parah, masyarakat kehilangan lahan pertanian, dan konflik horizontal merebak antara warga dan penambang ilegal.
Negara pun dirugikan karena kehilangan potensi pajak dan royalti triliunan rupiah setiap tahunnya. Ironisnya, penambangan ilegal sering kali lebih cepat berkembang daripada tambang resmi yang telah melalui prosedur ketat. Ini membuktikan adanya ketimpangan besar dalam penegakan hukum yang seharusnya melindungi kepentingan publik.
Di sisi lain, sistem perizinan usaha pertambangan yang diatur dalam UU Minerba dan turunannya sering kali dianggap tidak transparan, lambat, dan belum sepenuhnya digital. Proses yang berbelit-belit justru membuka ruang bagi praktik percaloan dan suap.
Penegakan hukum juga belum konsisten; satu daerah tegas menindak, daerah lain justru membiarkan tambang ilegal beroperasi bertahun-tahun. Tanpa harmonisasi kebijakan, tambang ilegal akan tetap subur seperti sekarang.
Dibutuhkan langkah reformasi drastis: digitalisasi total proses izin agar dapat diawasi publik, audit menyeluruh terhadap izin yang bermasalah, serta penindakan tegas terhadap perusahaan yang menyalahgunakan izin eksplorasi.
Penambang ilegal harus berhadapan dengan sanksi berat, tidak hanya pidana penjara, tetapi juga penyitaan aset, penutupan akses distribusi, dan pembongkaran jaringan pendukungnya.
Kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat lokal menjadi kunci dalam membentuk sistem yang tidak hanya represif, tetapi juga preventif.
Indonesia tidak boleh kalah dari mafia tambang. Kita membutuhkan tata kelola pertambangan yang modern, transparan, dan berkeadilan. Izin usaha pertambangan harus menjadi alat kontrol yang kuat, bukan sekadar formalitas administratif.
Jika reformasi tidak segera dilakukan, maka kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan kerugian negara akan terus meluas. Sudah saatnya negara berdiri tegak untuk memastikan bahwa kekayaan alam dikelola secara sah, berkelanjutan, dan untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir pelaku tambang ilegal. (Red/*)