BABELTODAY.COM, JAKARTA – Pada lanjutan proses mediasi tripartit yang diinisiasi oleh Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemenaker RI), hanya perwakilan dari Pimpinan Pekerja PT Timah Tbk (PKT) yang hadir secara penuh. Sebaliknya, Direksi PT Timah Tbk, yang seharusnya menjadi kunci dalam penyelesaian perselisihan internal ini, kembali tidak menunjukkan itikad baik dengan tidak menghadiri forum yang sangat penting tersebut. Kamis (19/9/2024).
Hal ini bukan pertama kali terjadi, di mana Direksi PT Timah Tbk kerap kali absen atau hanya mengirimkan perwakilan tanpa kapasitas untuk mengambil keputusan, yang akhirnya memperpanjang konflik yang terus membelit perusahaan.
Penghormatan yang tinggi patut diberikan kepada Pimpinan PKT, khususnya Ketua Umum Ahmad Tarmizi, yang hadir untuk menjawab undangan klarifikasi dari Kemenaker RI.
Tarmizi dengan tegas menyatakan bahwa langkah Direksi PT Timah dalam mengajukan Legal Opinion sebelum mengambil kebijakan merupakan tindakan yang kurang bijak.
“Seharusnya, kebijakan diambil berdasarkan pemahaman terhadap situasi dan konsultasi internal, bukan sebaliknya,” ujarnya.
Hal ini menggambarkan pola komunikasi yang buruk dari manajemen PT Timah, yang alih-alih mencari solusi, lebih sering berlindung di balik opini legal tanpa dasar konkret yang kuat.
Forum tersebut, yang seharusnya menjadi kesempatan emas bagi Direksi untuk menunjukkan komitmen mereka dalam menyelesaikan sengketa, malah menjadi ajang kekecewaan baru bagi para karyawan PT Timah.
Direksi yang diwakili oleh Pgs Kadiv HC Togap, gagal memberikan bukti konkrit atas permintaan Kemenaker terkait sosialisasi, edukasi, simulasi dampak kesejahteraan, serta kajian risiko dalam proses penyusunan Peraturan Direksi Penilaian Performa Individu (Perdir PPI).
Ketika ditanya soal bukti upaya sosialisasi dan dampak kesejahteraan, Togap tak mampu menjawab, apalagi menunjukkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan.
Masalah utama yang dihadapi PT Timah adalah tertundanya kenaikan golongan reguler bagi karyawan, yang menurut pihak perusahaan dikarenakan kondisi keuangan yang tidak stabil.
Namun, Ketua Harian PP PKT, Rahmattullah, langsung membantah alasan tersebut dan menantang Direksi untuk membuktikan bahwa mereka juga melakukan efisiensi terhadap gaji, kesejahteraan, dan fasilitas yang diterima oleh para direksi.
“Jika karyawan diminta untuk berkorban atas nama efisiensi, sudah seharusnya para direksi menunjukkan bukti pengorbanan serupa,” tegas Rahmattullah.
Namun, sekali lagi, perwakilan Direksi tidak bisa memberikan bukti bahwa ada efisiensi terhadap kesejahteraan atau fasilitas direksi.
Rahmattullah juga menyoroti kegagalan Direksi dalam menjalankan dialog dan diplomasi dengan para pekerja.
Ia mengungkapkan bahwa PKT sudah mengirimkan dua surat kepada Divisi HC, namun tak ada satupun yang direspons.
Bahkan, dialog bipartit yang telah dilakukan tiga kali juga tidak membuahkan hasil, karena pihak Direksi selalu menghindar dari pengambilan keputusan yang konkret.
“Dialog seharusnya menghasilkan kesepakatan dan keputusan, bukan sekadar formalitas,” ujar Rahmattullah, yang menegaskan bahwa pertemuan tripartit kali ini adalah bukti kegagalan Direksi PT Timah dalam mengelola hubungan industrial secara baik dan adil.
Kemenaker RI dalam forum ini memberikan arahan tegas, bahwa konflik ini harus segera diselesaikan secara internal oleh pihak Direksi, PKT, dan IKT.
Mereka bahkan mengusulkan agar seluruh serikat pekerja, termasuk yang hanya memiliki belasan anggota, harus dilibatkan dalam proses dialog. Kemenaker RI menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan perusahaan, sekaligus memastikan hak-hak karyawan terpenuhi.
Hal ini menjadi catatan penting, mengingat banyaknya keluhan dari karyawan yang merasa hak-hak mereka terus terabaikan oleh manajemen.
Sayangnya, upaya mediasi Kemenaker ini tampaknya tidak memberikan dampak yang signifikan, mengingat ketidakhadiran para pengambil keputusan utama dari Direksi PT Timah Tbk.
Ketidakhadiran ini mencerminkan ketidakpedulian yang lebih besar terhadap permasalahan yang dihadapi oleh ratusan karyawan PT Timah.
Jika kebiasaan buruk ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin masalah internal PT Timah akan semakin rumit, dan kepercayaan karyawan terhadap manajemen akan semakin terkikis.
Situasi semakin diperburuk dengan munculnya berbagai keluhan terhadap Perdir PPI yang dinilai terlalu represif dan tidak sejalan dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2023-2025.
Menurut para karyawan, aturan tersebut cenderung digunakan untuk menjatuhkan sanksi dan menghukum pekerja, bukan sebagai alat evaluasi performa yang objektif.
Ahmad Tarmizi dalam forum tersebut menekankan bahwa Perdir PPI ini tidak sesuai dengan prinsip KPI dan jauh dari praktik terbaik (best practice) yang diterapkan di perusahaan-perusahaan besar lainnya.
“Jika aturan ini dibiarkan terus berlaku, maka bukan hanya karyawan yang akan dirugikan, tetapi juga reputasi perusahaan di mata publik dan investor,” tambahnya.
Dengan kondisi perusahaan yang terus memburuk dan konflik yang tak kunjung usai, banyak pihak yang mendesak agar Kementerian BUMN turut campur tangan.
Masalah ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan karyawan, tetapi juga dapat merusak citra PT Timah sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seharusnya menjadi contoh dalam menjalankan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG).
Mantan Kadiv HC PT Timah, Fikha, yang diduga sebagai penyusun Perdir PPI, juga mendapat sorotan tajam dalam forum ini.
Ia dianggap sebagai dalang dari kekacauan yang terjadi, karena aturan yang disusunnya dinilai tidak mencerminkan semangat kebersamaan dan kesejahteraan karyawan.
Aturan tersebut justru menjadi alat untuk memberikan sanksi sewenang-wenang, yang semakin memperuncing ketidakpuasan di kalangan pekerja.
Dalam perjalanan waktu, sejak perubahan kepemimpinan perusahaan pada Mei hingga September 2024, tidak ada langkah-langkah konkret yang dilakukan oleh manajemen PT Timah untuk menyelesaikan kekisruhan ini.
Karyawan terus menunggu solusi yang komprehensif dan holistik, namun yang mereka dapatkan hanya janji-janji tanpa tindakan nyata.
Kesimpulannya, ketidakhadiran Direksi PT Timah Tbk dalam forum tripartit ini menunjukkan ketidakseriusan mereka dalam menyelesaikan konflik yang telah berlangsung lama.
Jika hal ini terus dibiarkan, bukan hanya kesejahteraan karyawan yang terancam, tetapi juga masa depan perusahaan secara keseluruhan.
PT Timah membutuhkan kepemimpinan yang berani mengambil keputusan tegas dan solutif, bukan yang terus menghindari tanggung jawab di tengah krisis. (Mung/KBO Babel).