
Babeltoday.com, Bangka — Upaya nelayan tradisional mempertahankan hak atas alur pelayaran di Sungailiat, Kabupaten Bangka, kembali dihadapkan pada arogansi para pelaku tambang timah ilegal yang terkesan kebal hukum dan tak tersentuh. Meski sudah sempat diusir paksa oleh kelompok nelayan pada Selasa (1/7/2025) siang, tujuh unit ponton tambang kembali beroperasi di kawasan alur sungai perbatasan Jalan Laut dan Lingkungan Nelayan II, Kecamatan Sungailiat.Rabu (2/7/2025).
Ironisnya, aktivitas ilegal tersebut bukan hanya berlangsung terang-terangan, tapi juga disaksikan langsung oleh aparat kepolisian yang berada di lokasi saat nelayan mendatangi tambang. Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum. Ini menimbulkan tanda tanya besar: ada apa di balik diamnya aparat terhadap aktivitas tambang ilegal yang terang-terangan melanggar hukum dan merugikan masyarakat?
Dalam aksi spontan tersebut, nelayan yang berasal dari kawasan Gusung dan Lingkungan Nelayan II, dengan tegas menolak keberadaan tambang ilegal yang menjadikan alur sungai—yang semestinya menjadi jalur aktivitas ekonomi nelayan—sebagai lokasi penambangan. Selain mengganggu lalu lintas perahu nelayan, aktivitas tambang dikhawatirkan menyebabkan pendangkalan sungai akibat buangan limbah.
“Kalau limbahnya terus dibuang di alur sungai, nanti alurnya makin dangkal, perahu-perahu kami bisa kandas. Kami yang hidup dari laut ini bisa makin susah,” ujar SM, seorang nelayan asal Gusung, saat ditemui di lokasi.
Dari hasil penelusuran tim media ini di lapangan, mencuat dugaan bahwa tambang-tambang ilegal tersebut mendapat ‘perlindungan’ dari oknum aparat berseragam hijau. Seorang sumber yang enggan disebutkan namanya menyebut bahwa keberanian para pelaku tambang untuk tetap beroperasi, meski sudah diusir dan diketahui aparat, bukanlah hal biasa.
“Mana mungkin mereka berani bekerja lagi kalau tidak ada yang membekingi. Sudah diusir, eh malah balik lagi bekerja sampai sore,” ungkapnya heran.
Tak hanya itu, muncul pula nama **Agat**, sosok yang disebut-sebut sebagai penampung pasir timah dari tambang ilegal di kawasan tersebut. Dugaan ini semakin menguatkan bahwa rantai bisnis tambang liar di Bangka tidak berdiri sendiri, melainkan bergerak dalam sistem yang terstruktur dan rapi, melibatkan pemodal dan—diduga—jaringan pelindung dari aparat.
Tim media hingga saat ini masih berupaya mengonfirmasi informasi tersebut kepada Agat, namun belum berhasil. Upaya konfirmasi juga dilakukan kepada beberapa nama yang disebut sebagai koordinator tambang di lokasi alur Jalan Laut & Nelayan II, yakni Rico alias Ankin, Agus alias Acai, Bagong, dan Yono. Hingga berita ini ditayangkan, belum ada tanggapan dari mereka.
Nama lain yang juga muncul adalah Ahak, yang disebut-sebut memiliki dermaga di Jalan Laut. Ia diduga memberi akses bagi aktivitas bongkar muat hasil tambang di dermaga tersebut. Dugaan keterlibatan ini pun masih terus ditelusuri oleh tim media.
Menanggapi situasi ini, publik mulai mempertanyakan efektivitas aparat penegak hukum, khususnya Polres Bangka. Alih-alih melakukan penindakan terhadap tambang ilegal yang merusak lingkungan dan mengancam mata pencaharian masyarakat nelayan, aparat justru tampak membiarkan pelanggaran hukum berlangsung di depan mata.
Kondisi ini jelas mencoreng citra institusi hukum dan semakin memperkuat anggapan bahwa penambangan ilegal di Bangka telah menjadi “ladang basah” yang diperebutkan banyak pihak. Ketika aparat justru menjadi penonton, bahkan disebut-sebut ikut bermain, maka hukum tak lebih dari sekadar simbol.
Masyarakat nelayan berharap pemerintah dan aparat penegak hukum segera turun tangan secara tegas dan transparan. Tak cukup hanya menyita ponton, tapi perlu mengungkap siapa dalang, pelindung, dan penampung dari tambang ilegal ini.
“Kalau tidak dibongkar tuntas dari hulu ke hilir, kami rakyat kecil ini akan terus jadi korban,” tegas salah satu nelayan yang ikut aksi.
Di tengah gejolak ini, sorotan kini tertuju kepada Polres Bangka dan instansi terkait lainnya untuk membuktikan bahwa negara masih hadir dan hukum masih berlaku. Jika tidak, kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum bisa ambruk, dan tambang-tambang ilegal akan terus menghancurkan ruang hidup masyarakat nelayan demi keuntungan segelintir orang. (RAP/KBO Babel)