Oleh : AHMADI SOFYAN
PAK OGAH dalam film “Si Unyil” berkepala botak yang memiliki karakter suka minta-minta alias memalak. Pejabat berkarakter Pak Ogah adalah pejabat yang menjadikan jabatan yang disandangnya sebagai lahan mencari uang melalui fee atau komisi bahkan jabatan dijual beli. Ah…, disini, nggak ada itu!!!
FILM “Si Unyil” adalah salah satu film yang sangat saya gemari kala masih kanak-kanak. Setiap Minggu pagi, melalui layar hitam putih, di rumah tetangga kita ramai-ramai menonton film produksi PPFN yang diciptakan Drs. Suyadi ini. Film dengan menggunakan boneka sehingga digemari anak-anak se-antero negeri ini ditayangkan TVRI sejak tanggal 5 April 1981 hingga 21 November 1993. Selain Si Unyil sendiri, ada beberapa tokoh dalam peran dalam film tersebut, seperti Pak Raden, Pak Ogah, Mbok Bariah, Ucrit, Usro, Pak Lurah, Pak Cuplis dan lain-lain.
Dari semua tokoh ini, ada satu tokoh yang sangat berkarakter, yaitu Pak Ogah. Sosok Pak Ogah dikenal berkepala botak, tempat nongkrongnya di Pos Ronda, memalak orang-orang yang lewat dan terkenal dengan kalimat “cepek dulu dong…”.
Kalimat “Cepek” yang diserap dari dialek Hokkian, yang bermakna satu keping uang Seratus Rupiah. Karena populernya perilaku Pak Ogah yang hobi minta fee alias malak, maka di kota-kota besar, orang-orang yang mengatur jalanan (bukan Polantas) dengan harapan diberikan uang receh dari pemakai jalan, disebut “Pak Ogah”.
Oleh karenanya, kala jemari menari diatas keyboard, tiba-tiba teringat dengan film “Si Unyil” dan sang pemeran bernama Pak Ogah. Ya sudah, akhirnya tulisan pun berubah tema dan berganti judul. Sebab, saya sedang membayangkan jika sosok Pak Ogah ini ada dalam dunia pemerintahan, apalagi ia pejabat tinggi negara atau Kepala Daerah. Setiap proyek pasti harus “cepek” alias ada fee atau komisi melalui orang-orang kepercayaannya. Setiap investor dan kontraktor datang, belumlah bekerja sudah dipalak duluan. Begitupula ketika bawahan yang mau posisi atau dimutasi, haruslah pintar menjilat dan mampu membayar fee yang sudah ditetapkan.
Setiap bulan, bawahan diposisi basah harus menyetor melalui orang kepercayaan. Setiap posisi ada upeti, begitulah kalau (karakter) Pak Ogah duduk sebagai pejabat pemerintah.
Sebagaimana dalam film “Si Unyil”, selain suka minta fee alias malak, Pak Ogah juga bersikap arogan. Anak kecil yang masih sekolah di tingkat SD (Sekolah Dasar) seperti Unyil dan Ucrit seringkali dipalak dan dibentak-bentak. Namun ketika berhadapan dengan Pak Raden, nyalinya ciut dan berusaha mengumbar senyum seakan-akan paling ramah. Ujung-ujungnya Pak Ogah minta maaf.
Penguasaan Pos Ronda oleh Pak Ogah adalah bukti betapa ia begitu berambisi dalam menguasai daerah kekuasaannya, sekaligus mempertahankan wilayah kekuasaan. Tidak boleh ada orang lain, kecuali yang pro kepada Pak Ogah. Maka muncullah sosok penjilat Pak Ogah bernama Pak Ableh.
Mari kita bayangkan, jika saja, karakter Pak Ogah ini berada di pucuk pimpinan di pemerintahan, ia tidak hanya membuat birokrasi menjadi tidak sehat, sebab pastinya melibatkan banyak orang dan semakin memperburuk citra pemerintah dimana Pak Ogah berkuasa. Pak Ableh sebagai penjilat setia Pak Ogah pastinya bersikap “Oke Boss”. Tak penting Sang Boss bernama Pak Ogah berperilaku buruk, memalak, minta fee dan bersikap arogan, yang penting posisi aman, proyek jalan, cipratan fee dapat, tak apalah diri adalah centeng sebagaimana pribumi bermental “penjilat” menghambakan diri kepada kompeni.
Dalam film “Si Unyil” Pak Ogah tidak memiliki isteri. Tak diceritakan apakah ia pernah duda ataukah memang masih bujangan. Namun jika Pak Ogah berada di pucuk pimpinan pemerintah, umumnya memiliki isteri. Nah, jika perilaku Pak Ogah adalah dalam pemerintahan, jangan-jangan anak dan isteri tercinta akan memanfaatkan posisi sang suami (Pak Ogah). Memanfaatkan kewenangan suami, fee yang dikumpulkan suami, bahkan mencari posisi untuk menjadi itu dan ini, misalnya jadi Caleg atau Komisaris atau apalah. Mumpung Pak Ogah sedang berkuasa dan menjadi Raja. Mungkin begitulah jika cerita tidak ada ini adalah dalam dunia pemerintahan kita, apalagi menjadi Raja.
Playback, Flashback dan Cashback
“DAK sape negah nek jadi raje, asal jen ngeraje” begitulah kalimat yang diucapkan salah satu tokoh Bangka Belitung yang hingga kini menjadi istilah populer masyarakat di Negeri Serumpun Sebalai. Ucapan tanpa tedeng aling, kalimat nyelekit bernilai sastra khas Bangka itu terucap dari atas mimbar oleh Zulkarnain Karim kala menjadi Khotib dan teruntuk Bupati Bangka kala itu yang ia kritisi, Bustan Khalik, yang berada persis di shaf terdepan.
Karakter kepemimpinan yang anti kritik dan selalu ingin menguasai, pastilah menciptakan konflik. Seorang pemimpin yang harusnya menyelesaikan masalah, justru menciptakan masalah dan yang lebih parah adalah diri dan perilakunya justru menjadi masalah sehingga menjadi konflik berkepanjangan. Lucunya, bawahan yang harus tampil membela Sang Boss, persis seperti Pak Ableh membela Pak Ogah, setali tiga uang alias “podo ae” atau “sami mawon”.
Kepemimpinan berkarakter Pak Ogah hanya berusaha menciptakan loyalitas tanpa integritas.
Lantas, dari film “Si Unyil” kita bisa menganalisa karakter pemimpin kita saat ini, dimana ia berposisi ataukah dalam semua karakter ada dalam diri para pemimpin? Setidaknya ada tiga aktor dalam film “Si Unyil” menjadi karakter pemimpin yang berkuasa.
(1). Pemimpin “Si Unyil”. Karakter pemimpin Si Unyil ini adalah karakter pemimpin yang penuh dengan pencitraan. Disukai karena selalu berperan baik di dalam kamera. Ia menjadi “sosok yang baik” dan cenderung disukai rakyat sebagai penonton. Gayanya yang sederhana dan pesan-pesan kebaikan menjadi sihir utama dalam mencuri hati rakyat. Slogan yang diciptakan berbalik dengan kenyataan. Namun di lain sisi, pemimpin Si Unyil ini tidak selesai dalam “bermain-main” seperti sangat kekanak-kanakan. Kadangkala yang dibuat menjadi kurang produktif bagi kepentingan masyarakat. Jabatan yang disandang tidak begitu bermanfaat kecuali hanya untuk sekedar kepentingan layar kamera dan pencitraan belaka.
(2) Pemimpin “Pak Raden”. Sebagaimana karakter tokoh dalam film Si Unyil, karakter Pak Raden adalah karakter pemimpin kawakan yang tidak pernah selesai membuat dan mencari panggung agar selalu eksis dalam kancah jabatan. Ia akan selalu ingin tampil dan tidak boleh dilupakan. Perubahan zaman dan pertambahan usia tidak membuat ia ingin “pensiun” dari hiruk pikuk perpolitikan. Semua orang baru dianggap “anak kemaren sore” yang tidak tahu menahu. Haus akan jabatan dan koar-koar kesana kemari kalau jabatan tidak mampu diraih atau diberhentikan.
(3) Pemimpin “Pak Ogah”. Seperti penjelasan panjang diatas, pemimpin yang menjadikan profesi atau jabatan yang disandangnya sebagai lahan mencari uang. Berkepala botak dan berusaha memanfaatkan posisi sebagai “penguasa pos ronda” bersama sang penjilat bernama Pak Ableh. Memalak, meminta fee, komisi dan sebagainya adalah target Pak Ogah yang paling utama.
Dari 3 jenis pemimpin ini, menurut Cak Lontong, kita bisa menyimpulkan bahwa pemimpin “Si Unyil” berkarakter “Playback”, pemimpin “Pak Raden” berkarakter “Flashback” dan pemimpin “Pak Ogah” berkarakter “Cashback”. Terus Pak Ableh gimana? Kalau Pak Ableh nggak usah aja dah, namanya juga anak kemaren sore belajar jadi penjilat, nggak punya pegangan kemampuan diri apalagi integritas. Jadi harus menjilat agar tetap melekat dengan Pak Ogah.
Semoga di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di Kabupaten maupun Kota, tidak ada pemimpin yang suka memalak, minta fee, jual beli jabatan dan bayar komisi seperti Pak Ogah.
Salam Pak Ogah!(*)
Ahmadi Sofyan, akrab disapa “Atok Kulop”. Dikenal sebagai Penulis dan Pemerhati Sosial dan Budaya di Bangka Belitung. Telah menulis lebih 80 judul buku dan 1.000 lebih opininya ditersebar di media cetak maupun online. Saat ini kesehariannya banyak berada di kebun tapi terus mengikuti perkembangan dunia dari pondok kebun tepi sungai.