Babeltoday.com, Pangkalpinang, 28 Agustus 2025 – Sebuah polemik baru tengah bergulir di lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Edi, seorang warga yang dikenal vokal dalam isu transparansi informasi publik, resmi melayangkan keberatan kepada Gubernur Bangka Baelitung. Inti persoalannya: Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dikeluarkan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Bangka Belitung diduga tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik maupun aturan turunannya yang dikeluarkan oleh Komisi Informasi.
Dalam wawancara dengan media, Edi menegaskan bahwa SOP tersebut justru berpotensi mengebiri hak publik. “Masyarakat bisa terkunci untuk menggugat. Bahkan, istilah ‘PPID Utama’ dan ‘PPID Pembantu’ yang mereka munculkan sama sekali tidak dikenal dalam Peraturan Komisi Informasi. Yang ada hanya Atasan PPID, PPID, dan PPID Pelaksana. Jadi, dari mana istilah itu muncul?” ujarnya dengan nada geram.
Kritik Edi tidak berhenti pada ranah administratif. Ia juga telah membawa persoalan ini ke Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan dugaan adanya penyalahgunaan wewenang. “Kalau Ombudsman tidak cukup, kita lanjutkan ke sidang Komisi Informasi. Dan bila perlu, sampai ke meja pengadilan. SOP asal-asalan ini hanya menunjukkan lemahnya telaah hukum staf khusus maupun asisten gubernur. Malah mempermalukan pemerintah sendiri,” tambahnya.
Pernyataan senada datang dari pengacara senior Bujang Musa, yang akrab disapa BM. Ia menilai langkah Diskominfo Bangka Belitung dan pemerintah provinsi mencerminkan lemahnya tradisi kajian hukum. “Aneh sekali, seolah-olah tidak ada ahli hukum di lingkaran mereka. Padahal, jika aturan turunan tidak sinkron dengan undang-undang, risikonya fatal bagi tata kelola pemerintahan,” kata BM.
Persoalan SOP ini, menurut sejumlah pengamat, bisa menjadi indikator lebih dalam tentang cara kerja pemerintahan baru di Babel. “Ini bukan sekadar soal administrasi, tapi soal mentalitas birokrasi. Kalau aturan dibuat tanpa dasar hukum jelas, bagaimana publik bisa percaya?” ujar seorang pemerhati kebijakan yang enggan disebut namanya.
Kini bola panas berada di tangan gubernur. Dalam kurun 30 hari, sesuai mekanisme hukum, ia wajib merespons keberatan tersebut. Namun publik masih menanti: apakah Edi Irawan hanya sedang mencari panggung, atau benar-benar menjadi motor perubahan melawan mekanisme birokrasi yang dianggap menyesatkan?
Satu hal pasti, kasus ini membuka babak baru dalam dinamika keterbukaan informasi di Babel—antara hak publik yang dijamin undang-undang dan praktik birokrasi yang dituding melenceng dari rel hukum. (Red/*)