Pers, menurut beberapa pendapat para pegiat pers, diantaranya ; R Eep Saefulloh Fatah, Pers merupakan pilar keempat bagi demokrasi (the fourth estate of democracy) dan mempunyai peranan yang penting dalam membangun kepercayaan, kredibilitas, bahkan legitimasi pemerintah.
Kemudian menurut Kustadi Suhandang, Pers adalah seni atau ketrampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya.
Sedangkan pengertian Pers dalam undang-undangndang- (UU) Nomor 40 tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pengertian pers dalam arti sempit diketahui mengandung penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan ataupun berita-berita dengan jalan kata tertulis, sebaliknya pers dalam arti yang luas memasukkan di dalamnya semua media komunikasi massa yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tulisan maupun dengan kata-kata lisan.(Oemar Seno Adji, 1977:13.
Dan beberapa waktu yang lalu tepatnya pada hari 9 Februari 2020 masyarakat Pers atau pegiat Pers bersuka cita merayakan hari kelahiran Pers Indonesia, bahkan untuk memeriahkan perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2020 di bumi Gerbang Ibukota Negara Banjarmasin, Kalimantan Selatan panitia pelaksana HPN pun mengundang Presiden Joko Widodo dan sejumlah tamu dari mancanegara.
Namun suka cita dalam mewahnya perayaan HPN saat itu, tidaklah mudah menghapus sejumlah catatan persoalan kekerasan, intimidasi dan intervensi yang dialami oleh masyarakat Pers/pegiat Pers yang ada di Bumi Nusantara.
Keselamatan Pers masih menjadi permasalahan di Indonesia. Bahwasannya banyak kekerasan secara fisik yang dialami oleh pegiat Pers atau Jurnalis/wartawan dalam melaksanakan tugasnya dan karya-karya Jurnalis. Dan sebagaimana telah dicantumkan dalam Kode Etik Jurnalistik, seorang wartawan / media pers dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers
dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Yang menjadi permasalahan ialah dalam proses penangganan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan pedoman tentang tahap-tahap dan mekanisme yang dapat menjadi rujukan bagi berbagai pihak terkait seperti MOU atau nota kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kapolri justru belum mampu melindungi secara hakiki profesi seorang jurnalis/pegiat pers.
Sejumlah permasalahan intimidasi dan investasi terhadap pegiat pers/jurnalis saat dihalang-halangi dalam melaksanakan tugas justru nota kesepahaman (MOU) Dewan Pers dengan Kapolri yang dikedepankan untuk menyelesaikan permasalahan intimidasi dan intervensi terhadap para pegiat pers/jurnalis.
Sehingga seolah-olah diinterpretasikan Nota Kesepahaman (MOU) antara Dewan Pers dengan Kapolri lebih tinggi mengatur Undang-undang nomor 40 Tahun 1999.
Kerapkali para pegiat pers/Jurnalis/wartawan mengalami intimidasi dan intervensi dalam melaksanakan tugasnya atau merasa dihalang-halangi, justru pasal 18 ayat 1 UU No 40 tahun 1999 tidak mampu melindungi hak profesi seorang pegiat pers/jurnalis, bahkan sedihnya tindakan kekerasan yang dianggap ringan oleh pihak aparat penegak hukum (APH) seperti Kepolisian diselesaikan melalui proses ajudikasi non litigasi di Dewan Pers, dengan berpedoman nota kesepahaman antara dewan pers dengan Kapolri.
Sementara itu, ketika seorang pegiat pers/jurnalis menayangkan karya jurnalistik di media persnya dan membuat si objek yang diberitakan merasakan dirugikan dengan mudah disangkakan pencemaran nama baik atau ujaran kebencian, dan tidak sedikit pihak APH dengan mudah menaikkan proses hukumnya sampai ke meja hijau bahkan dengan cepatnya menangkap dan memenjarakan para pegiat Pers yang dilaporkan oleh si objek pemberitaan.
Beberapa kasus mengenai kekerasan terhadap wartawan:
1.) Dihalang-Halangi dan Dianiaya Saat Liputan Demo, Empat Jurnalis Lapor ke Polda Metro 5 Oktober 2019 , 05:15 WIB (Sumber: Timlo.net). Dalam kasus ini di nyatakan adanya 4 Jurnalis melapor kasus kekerasan terhadap jurnalis dan menghalang-halangi dalam meliput kasus demo tanggal 24,25 sampai dengan tanggal 30 September
2019.
Dilaporkannya 4 kasus kepada pihak Kepolisian, ada 2 laporan yang di terima yaitu laporan kasus yang dialami oleh jurnalis kompas.com yang dihalang-halangi oleh oknum polisi saat merekam aksi oknum polisi memukuli massa aksi di JCC, Jakarta ( dikenakan Pasal 4 ayat 3 juncto Pasal 18 ayat 1 UU nomor 40/1999 tentang Pers ) dan laporan kasus jurnalis Katadata yang mengakui mengalami kekerasan dari oknum polisi saat meliputi demo (dikenakan Pasal 352 KUHP).
2.)Wartawan Ditahan Karena Tulisan, Ocktap Riady: Patuhi MoU Antara Kapolri Dengan Dewan Pers 11 Februari 2020
Sumber: Tanggerangonline.id Kasus yang menimpa seorang wartawan di Buton Tengah, Provinsi Sulawesi. Tenggara, Moh Sadli Saleh (33). Sadli Saleh dijebloskan ke penjara karena tulisannya Abracadabra : Simpang Lima Labungkro Disulap Menjadi Simpang Empat yang terbit pada 10 Juli 2019 lalu di media online liputanpersada.com.
Dalam pemberitaan ini kepolisian dianggap tidak menjalankan komitmen MoU antara Dewan Pers dan Polri. Seharusnya berdasarkan pasal 3 ayat (6) Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor : 01/DP/MoU/2/2012 , Nomor : 05/11/2012 tentang Koordinasi dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan Kemerdekaan Pers , menyatakan bahwa “ PIHAK KEDUA apabila menerima laporan dan atau pengaduan dari masyarakat yang berkaitan dengan pemberintaan pers, opini dan atau surat pembaca, dalam proses penyelidikan dan penyidikan bekomsultasi dengan PIHAK PERTAMA baik secara lisan dan/atau tertulis”. Lalu, berdasarkan Pasal 15 ayat 2c UU RI No.40/1999 tentang Pers : Keberatan terhadap sebuah karya jurnalistik, diselesaikan oleh Dewan Pers dan dilakukan dengan Prosedur hak jawab terlebih dahulu.
Berdasarkan 2 sampel kasus yang telah dijabarkan, bahwasannya perlu di bandingkan untuk melihat
bahwa memang diperlukannya pengaturan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap wartawan.
Dilihat dari kasus yang pertama , perlindungan secara nyata dan jelas dirasakan oleh wartawan ialah
saat seorang wartawan telah mengalami penganiayaan / secara fisik menimbulkan kerugian terhadap
wartawan dan memang seharusnya di proses sesuai dengan ketentuan KUHP. Lalu, dalam kasus yang pertama pun adanya seorang wartawan yang mengajukan laporan atas apa yang ia alami ialah adanya oknum-oknum yang berusaha menghalang-halangi saat ingin meliput berita di lapangan. Namun,dalam laporan atas dasar “ wartawan yang dihalang-halangi dalam meliput berita” tersebut, polisi mengadakan surat – menyurat kepada dewan pers, lalu kemudian dewan pers akan menyelidiki apakah benar laporan yang di serahkan wartawan kepada polisi dapat ditindak lanjuti dengan atas dasar Pasal
18 UU Pers.
Maka, disini yang ingin saya tegaskan, dalam pelaksaan surat-menyurat dan wartawan yang merasa dirugikan tersebut harus menunggu keputusan Dewan Pers agar laporannya bisa di
teruskan ke jalur Litigasi. Namun, saya tidak menemukan titik terang atas seberapa kurun waktu yang dibutuhkan oleh wartawan untuk menunggu keputusan dari Dewan Pers agar kasus tersebut bisa diteruskan ke langkah selanjutnya.
Sedangkan dalam kasus yang kedua , benang merah yang dapat saya sampaikan bahwa penegak hukum ( kepolisian ) saat memperoleh gugatan dari masyarakat ,dimana masyarakat tersebut bersengketa dengan jurnalistik dan aparat kepolisian langsung menggambil tindakan untuk menjebloskan jurnalistik tersebut ke penjara. Seharusnya, polisi tersebut menjalankan komitmen MoU antara Dewan Pers dan Polri.
Jika dibandingkan antara kedua sampel kasus yang telah di paparkan. Terlihat jelas bahwa memang perlunya disusun pedoman penanganan yang memadahi dalam proses penangganan kasus kekerasan terhadap wartawan baik secara fisik maupun tidak. Serta perlunya pengaturan hukum secara tegas bahwa Jurnalis/wartawan dalam melaksanakan tugasnya perlu mendapatkan kepastian hukum , terkhususnya harus tercantum UU Pers itu sendiri yang seharusnya memang dapat menjamin kepastian hukum terhadap wartawan dalam melaksanakan tugasnya.
Dari tulisan ini saya berpendapat bahwa Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers belum mampu melindungi secara hakiki profesi seorang para pegiat/jurnalis secara utuh, bahkan undang-undang pers masih kalah dengan Undang-undang KUHPidana. Namun sayangnya Undang-undang KUHPidana melindungi wartawan/jurnalis dalam menjalankan tugasnya ketika mereka mengalami kekerasan secara langsung yang menimbulkan bekas luka ringan atau berat. Si Pelaku bisa diproses sampai ke meja hijau.
Dewan Pers, yang dianggap sebagai wadah rumahnya para pegiat untuk berlindung dan tempat mengadu agar harkat martabat profesi terjaga sebagai pejuang Informasi dan demokrasi tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi para pegiat Pers/Jurnalis, bahkan fatwa atau rekomendasi yang diterbitkan justru semakin memberatkan bagi pegiat Pers/jurnalis yang Teradu. Namun sebaliknya jika pegiat pers mengalami intimidasi dan intervensi dalam melaksanakan tugasnya justru Dewan Pers sebagai Pahlawan yang berpihak lebih cenderung penyelesaian secara ligitasi.
Terus semangat para pejuang Informasi Pers Nusantara.
(Penulis : Mahasiswi Universitas Sriwijaya, Fakultas Ilmu Hukum Angkatan 2017, Alumnus SMA Negeri 1 Pangkalpinang.)