Analisis Yuridis Terhadap Penanganan Dugaan Korupsi PT NKI di Tengah Pusaran Pilkada

Opini

0 53

BABELTODAY.COM, (OPINI) – Maraknya pemberitaan media online lokal di Bangka Belitung yang memuat pemberitaan mendesak Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung menetapkan Erzaldi Rosmam -calon inkumben- sebagai tersangka kasus dugaan korupsi PT NKI dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan izin pemanfaatan lahan seluas 1.500 hektar yang dikelola oleh PT Narina Keisha Imani (NKI) di Kota Waringin Labuh Air Pandan, Kabupaten Bangka, sangat menarik dikaji dalam perspektif hukum.

Penasehat hukum Andi Kusuma menantang Aspidsus Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung untuk menetapkan Erzaldi Rosman sebagai Tersangka pada kasus korupsi yang telah menjerat kedua kliennya.
Andi Kusuma (Penasihat Hukum Marwan dan Ari Setioko) memberikan pernyataan sebagai berikut “Kami mendampingi klien kami Marwan dan Ari Setioko dan hari ini klien kami betul-betul melakukan jihad hukum dan membuka permasalahan sejelas-jelasnya siapa saja yang melakukan perbuatan hukum sehingga mengakibatkan kerugian negara”, selain itu ditambahkan pula oleh Andi Kusuma bahwa “Saya menantang Aspidsus Suseno sebelum pendaftaran Pilkada berani tidak menetapkan Mantan Gubernur Bapak Erzaldi Rosman sebagai Tersangka dalam kasus ini. Jangan sampai sarana pilkada dijadikan ajang penyelamatan diri penegakan hukum yang sifatnya memaksa. Jangan sampai hukum tajam ke bawah tumpul ke atas”.

Berkaitan dengan pemberitaan yang disampaiakan oleh Andi Kusuma tersebut di atas, kiranya perlu dilakukan analisis hukum sebagai berikut:
Bahwa jihad hukum yang dimaksud oleh Andi Kusuma agaknya sedikit melenceng dari fakta yang terjadi sebenarnya, karena terkesan menimbulkan pemberitaan bahwa Andi Kusuma yang menjadi penasihat hukum dari Marwan dan Ari Setioko tersebut sedang melakukan perjuangan untuk mencapai kebaikan. Padahal faktanya adalah bahwa Marwan dan Adi Setioko dipanggil oleh Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung kapasitasnya untuk diperiksa sebagai Saksi yang kemudian dijadikan sebagai Tersangka. Hal tersebut bukanlah merupakan perjuangan, melainkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa Tersangka adalah “… seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Kemudian berdasarkan penjelasan pasal tersebut dapat dipastikan bahwa penetapan seseorang sebagai Tersangka berarti telah didukung oleh bukti permulaan. Sehingga siapapun penyidiknya baik panyidik Kejaksaan RI maupun penyidik Kepolisian RI dan penyidik KPK RI dalam menetapkan tersangka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tentunya tidak akan gegabah, oleh karena itu pasti akan memperhatikan alat bukti yang mendukung atas perbuatan yang diduga telah dilakukan oleh Tersangka. Yang dimaksud dengan bukti permulaan sebagaimana dalam penjelasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah merupakan 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana terdapat dalam Pasal 184 KUHAP yaitu: keterangan Saksi, keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan keterangan Terdakwa.
Keterangan Tersangka pada dasarnya tidak diberikan penjelasan dalam KUHAP, tetapi untuk memahami keterangan Tersangka lebih lanjut dapat dilihat dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yaitu:
Pemeriksaan dilakukan oleh Penyidik dan/atau Penyidik Pembantu terhadap Saksi, Ahli dan Tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh Penyidik dan/atau Penyidik Pembantu yang melakukan pemeriksaan dan orang yang diperiksa;
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk mendapatkan alat bukti dalam proses penyidikanuntuk mendapatkan keterangan Saksi, Ahli dan Tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.
Selanjutnya berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor B-945/F/Fjp/05/2018 yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Perihal Petunjuk Teknis Pola Penaganan Perkara Tindak Pidana Khusus Yang berkualitas dijelaskan penetapan seseorang menjadi Tersangka perlu melalui tahapan–tahapan proses mulai dari Laporan atau Aduan sampai dengan proses Penyelidikan untuk memperoleh 2 (dua) alat bukti yang digunakan sebagai dasar untuk menetapkan seseorang menjadi Tersangka.
Didalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 44 ayat (2) menjelaskan bahwa bukti permulaan yang cukup telah ada apabila telah ditemukannya sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.
Berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP pengertian Saksi yaitu “… orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Pengertian saksi ini juga kemudian diberikan perluasan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 sehingga termasuk juga orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Mengapa panggilan sebagai saksi ataupun Tersangka kami sebutkan sebagai kewajiban? Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 224 KUHP yaitu:
“Barang siapa dipanggil sebagai Saksi, Ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:
dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan;
dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan.
Saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang -Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri.
Berdasarkan keterangan dari Andi Kusuma yang merupakan penasihat hukum Marwan dan Ari Setioko serta penjelasan tersebut di atas, maka sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa Marwan dan Ari Setioko telah diduga kuat melakukan suatu tindak pidana, dugaan tersebut didasari oleh bukti permulaan sehingga keduanya ditetapkan sebagai Tersangka dan kemudian diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung. Pemeriksaan tersebut harus dihadiri oleh keduanya, karena hal tersebut merupakan kewajiban untuk dihadiri guna kepentingan penegakan hukum. Sehingga penggunaan kata jihad tersebut tidak sesuai dengan konteks pemanggilan pada kedua Tersangka tersebut.
Seharusnya Andi Kusuma yang merupakan seorang Advokat dapat melakukan tugasnya untuk melakukan pembelaan terhadap hak serta kepentingan kliennya. Sehingga Andi Kusuma tidak memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menyuruh Aspidsus Kejaksaan Tinggi Babel untuk menetapkan seseorang sebagai Tersangka. Mengingat penetapan seseorang sebagai Tersangka merupakan upaya paksa yang memberikan batasan terhadap Hak Asasi seseorang, maka penegak hukum diwajibkan melaksanakan kewenangan tersebut secara hati-hati dan sangat terbatas pada ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP.
Sebelum ditetapkannya seseorang menjadi Tersangka perlu melalui tahapan pemeriksaan diantaranya Penyelidikan terlebih dahulu untuk dapat diketahui apakah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disangkakan tersebut ditemukan bukti permulaan yang patut diduga menjadi pelaku tindak pidana, jika hasil dari proses hukum penyelidikan berkesimpulan, penyelidik berkeyakinan bahwa perbuatan atau peristiwa ini merupakan tindak pidana, maka proses hukum sudah barang tentu ditingkatkan keproses hukum penyidikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP menyebutkan bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpukan bukti yang terjadi guna menemukan Tersangkanya”.
Karena pada dasarnya yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan adalah Kepolisian, maka sebelum menetapkan seseorang menjadi Tersangka telah diatur beberapa tahapan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 26 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Sebelum sampai pada tahap penetapan Tersangka, maka tahap yang harus dilalui. adalah:
Penyelidikan;
Dimulainya penyidikan;
Upaya Paksa;
Pemeriksaan;
Penetapan Tersangka
Penyelidikan dilakukan dengan dasar laporan dan/atau pengaduan dan surat perintah penyelidikan. Penyelidikan dilakukan dengan olah TKP, pengamatan, wawancara, pembuntutan, penyamaran, pelacakan dan/atau penelitian serta analisis dokumen. Setelah penyelidikan selesai maka dibuat Laporan Hasil Penyelidikan dan ditujukan kepada Penyidik. Penyidikan kemudian dimulai dengan adanya Laporan Polisi ataupun Surat Perintah Penyidikan. Setelah adanya Surat Perintah Penyidikan kemudian dibuat Surat Perintah Dimulainya Penyidikan.
Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan upaya paksa yaitu pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Pemeriksaan adalah tahap dimana Penyidik dan/atau Penyidik Pembantu memeriksa Saksi, Ahli dan Tersangka yang nantinya hasil pemeriksaan akan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan. Penetapan Tersangka kemudian dilakukan setelah adanya paling sedikit 2 (dua) alat bukti dan dilakukan melalui mekanisme gelar perkara kecuali tertangkap tangan.
Penetapan seseorang sebagai Tersangka tidak dilakukan atas dasar permohonan dari seseorang, bahkan sampai memberikan batas waktu kapan seseorang seharusnya ditetapkan sebagai Tersangka. Penetapan Tersangka dilakukan oleh penyidik berdasarkan bukti permulaan, bukan atas tantangan dari seseorang yang sama sekali tidak memiliki kewenangan apapun dalam melakukan penyidikan.
Lebih jauh, Yahya Harahap menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, bahwa untuk dapat memanggil seseorang sebagai Tersangka dan diminta keterangannya maka penyidik harus terlebih dahulu memiliki bukti permulaan atau probable cause sehingga penyidik baru bisa menjatuhkan dugaan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana. Artinya, terdapat cukup fakta dan keadaan berdasarkan informasi yang sangat bisa dipercaya bahwa Tersangka sebagai pelaku tindak pidana berdasar pada bukti dan tidak boleh semata-mata berdasarkan konklusi. Hal ini perlu ditekankan mengingat praktik penegakan hukum di masa lalu, penyidik langsung menduga, menangkap dan menahan seseorang walaupun belum terdapat bukti permulaan yang cukup. Hal ini juga nantinya mendukung terjadinya praktik kekerasan dan pemerasan pengakuan kepada Tersangka.
Berdasarkan keterangan Andi Kusuma yang menjelaskan bahwa “… dan membuka permasalahan sejelas-jelasnya siapa saja yang melakukan perbuatan melawan hukum sehingga mengakibatkan kerugian negara”, seharusnya sebagai seorang Advokat Andi Kusuma memahami betul bahwa membuka permasalahan sejelas-jelasnya untuk mengetahui siapa yang mengakibatkan kerugian negara hanya bisa dilakukan pada proses pembuktian di Pengadilan, tidak bisa dilakukan pada proses pemeriksaan di Kejaksaan, karena pada proses pemeriksaan di Kejaksaan tujuan dari penyidik adalah untuk menemukan atau mendapatkan alat bukti. Keterangan-keterangan dari Tersangka bukan membuka permasalahan sejelas-jelasnya, melainkan hanya keterangan sebelah pihak semata, penyidiklah yang nantinya akan mengumpulkan alat bukti yang objektif setelah mendengarkan keterangan-keterangan dari saksi maupun Tersangka.
Sedangkan mengenai kerugian keuangan negara diberikan penjelasan dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan yaitu “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Kerugian negara atau kerugian keuangan negara tidak bisa ditentukan berdasarkan keterangan advokat, ataupun berdasarkan keterangan sepihak dari Tersangka, melainkan harus ditentukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan dasar Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan dasar Pasal 3 huruf e Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2023 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dasar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012. Pada intinya kerugian negara atau kerugian keuangan negara harus di-declare terlebih dahulu oleh salah satu dari ketiga lembaga tersebut agar dapat dikatakan sebagai kerugian keuangan negara.
Selain itu Andi Kusuma juga memberikan pernyataan bahwa “Jelas-jelas dalam pemeriksaan dan pembuktian mantan Gubernur ini (Erzaldi Rosman) mengkangkangi Permendagri 22 Tahun 2009 mengenai Pasal 56 ayat c yang seharusnya membentuk tim TKKSD tapi tidak dibentuk sehingga jelas-jelas mengakibatkan kerugian negara …”. Kami mempertanyakan pembuktian yang mana yang dimaksud oleh Andi Kusuma, kami berasumsi pemeriksaan merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Kejaksaan terhadap dua Tersangka yang memberikan kuasa untuk mendampingi kepada Andi Kusuma, tetapi untuk pembuktian mana yang dimaksud? sebagai seorang Advokat Andi Kusuma seharusnya memahami betul bahwa pembuktian dalam konteks hukum pidana merupakan inti dari persidangan di pengadilan dengan tujuan mencari kebenaran materiil. Dalam agenda pembuktian di pengadilan, pembuktian dilakukan oleh Penuntut Umum dan Penasihat Hukum dengan tujuan meyakinkan hakim untuk membuat keputusan apakah Terdakwa bersalah, Terdakwa bebas, Terdakwa lepas, ataupun Terdakwa diringankan hukumannya.
Kembali mengutip pendapat Yahya Harahap sebagaimana yang terdapat dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, dijelaskan bahwa pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat bukti yang dibenarkan Undang-undang yang dapat dipergunakan oleh hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa.
Keterangan Andi Kusuma yang menyatakan ‘pembuktian’ berdasarkan keterangan sepihak dari Tersangka tersebut tidak patut untuk dijadikan dasar bahwa Erzaldi Rosman mengakibatkan kerugian keuangan negara, karena hanya dilakukan dengan memberikan keterangan di Kejaksaan, bukan pembuktian di persidangan dengan hasil akhir putusan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga seluruh keterangan Andi Kusuma dalam keterangan pemberitaan tersebut tidak didasarkan pada kebenaran serta pemahaman hukum yang baik. Suatu keterangan yang tidak didasarkan dengan kebenaran serta pemahaman hukum yang baik, maka tidak dapat diterima dan harus dikesampingkan. Selain tidak berdasarnya pemberitaan dimaksud, hal tersebut juga cenderung syarat akan kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan serta merupakan Pembunuhan Karakter terhadap sosok Elzaldy Rosman yang saat ini sedang mengikuti proses pencalonan Gubernur Provinsi Bangka Belitung periode Tahun 2024-2029. (Red/*)

Firmansyah:
Penulis adalah praktisi hukum dan pengajar praktik peradilan pada UMY

Leave A Reply

Your email address will not be published.