Bambang Hero Saharjo Bukan Ahli Hitung Kerugian Negara pada Kasus Korupsi Timah

0 108

BabelToday.com, Bangka Belitung – Kasus mega korupsi tata niaga timah yang diungkap oleh Kejaksaan Agung dan menjadi trending topik pembahasan nasional, menimbulkan polemik memanas dan menjadi perhatian semua pihak, terutama masyarakat penggiat Peduli Bangka Belitung beserta tokoh-tokoh pemuda Babel. Perkara ini menjadi pusat perhatian sosial karena embel-embel kerugian negara akibat kerusakan lingkungan yang ditaksir sebesar Rp. 271.069.740.060 sebagaimana didalilkan oleh Kejaksaan Agung. Senin (6/1/2025).

Perhitungan kerugian senilai Rp. 271.069.740.060 dihitung  oleh Ahli Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo yang diajukan oleh Pihak Kejaksaan sebagai Ahli dalam perkara  tindak pidana korupsi tersebut diatas, adalah perhitungan yang tidak masuk akal dan tidak dapat diterima secara logika maupun fakta lapangan.

Perhitungan yang didalilkan oleh Bambang Hero Saharjo angka kerugian tersebut merupakan estimasi kerugian lingkungan berupa kerusakan lingkungan pada lubang galian seluas 170.363.064 hektar.

Seperti diketahui Bambang Hero Saharjo bukan merupakan bagian dari Lembaga berwenang dalam melakukan perhitungan/BPK (Badan Pengawas Keuangan).

Bagaimana bisa dalam perkara sebagaimana digadang-gadang sebagai “mega korupsi” dihitung oleh ahli yang tidak memiliki relevansi dalam penghitungan. Seperti yang diketahui Bambang Hero Saharjo adalah Ahli Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan bukan merupakan Ahli Keuangan Negara.

Padahal seharusnya, apabila berbicara mengenai kerugian negara maka pihak yang berkompeten dalam melakukan penghitungan adalah Ahli Keuangan Negara yang terafiliasi bersama BPK (Badan Pemeriksan Keuangan.

Hal ini turut diamini oleh Prof Sudarsono dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menyebutkan bahwa “Bambang Hero Saharjo bukan ahli hitung kerugian negara pada kasus korupsi timah”. Apabila perhitungan vital seperti ini gunakan maka sangat menggugah rasa keadilan dan berbahaya dalam melakukan penegakkan hukum, karena setiap statement harus dipertanggung jawabkan termasuk kepada lembaga penegak hukum yaitu Kejaksaan Agung.

Berdasarkan fakta persidangan pun, Bambang Hero Saharjo terbukti tidak dapat menjelaskan mengenai metode perhitungan yang digunakan dalam menafsirkan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan. Selain itu Bambang Hero Saharjo secara tidak professional dalam menghitung kerugian negara akibat kerusakan lingkungan tidak memisahkan kerugian IUP OP Timah Tbk dan Non PT. Timah Tbk dengan alasan “malas”.

Pun apabila terjadi kerugian negara akibat kerusakan lingkungan maka estimasi kerugian negara seharusnya dihitung adalah berdasarkan luas lubang galian yang hanya seluas 9.720 hektar bukan seluas 170.363.064 hektar.

Seperti yang diketahui perkara tindak pidana korupsi tata niaga timah disesuaikan pada hitungan periode tahun 2015-2022 (8 tahun). Atas periodik tersebut, PT. Timah Tbk telah melakukan produksi timah rata-rata sebesar 40.000 MT/ tahun.

Apabila dikonversikan selama kurun waktu sebagaimana didalikan oleh Pihak Kejaksaan maka nilai produksi timah rata-rata sebesar 40.000 MT x periodiK (8 tahun) = 320.000 MT.

Bahwa berdasarkan persesuaian antara produksi IUP Darat dengan nilai produksi timah rata-rata selama kurun waktu 8 tahun didapatkan perhitungan : 50% x 320.000 MT = 160.000 MT.

Kemudian mengenai produksi logam hasil kerjasama antara perusahaan smelter dan PT. Timah Tbk pada tahun 2019-2020 adalah sebesar 68.000 MT dan pada periode tahun 2015-2022 adalah sebanyak 228.000 MT.

Atas produksi logam tersebut menggunakan recovery peleburan timah senilai 94%. Sehingga perhitungan produksi bijih timah adalah :

Total Produksi Bijih Timah = 243.000 MT Sn

Selanjutnya, berdasarkan data rata-rata kekayaan cadangan di IUP PT. Timah Tbk  sebesar 0,25 kg Sn/m³, maka konversi volume tanah yang harus digali untuk mendapatkan total bijih timah tersebut adalah senilai :

Volume Tanah Digali = 972.000.000 M3

Dengan asumsi kedalaman rata-rata penggalian tanah sebesar 10 meter, maka luas wilayah tambang yang diperlukan adalah senilai:

Luas Wilayah Tambang = 97. 200 m2/ 9.720 Ha

Berdasarkan perhitungan tersebut diatas, didapatkan hasil bahwa luas wilayah tambang yang diperlukan mengacu pada data produksi adalah seluas 9.720 hektar, bukan  170.363.064 hektar seperti yang dinyatakan sebelumnya oleh Bambang Hero Saharjo.

Ada indikasi terjadi deviasi yang sangat besar dalam perhitungan, sehingga guna memvalidasi hasil perhitungan Bambang Hero Saharjo diperlukan analisis dan verifikasi lebih lanjut oleh para ahli tambang, geologi, maupun pihak terkait dari PT. Timah Tbk untuk mengomentari perbedaan perhitungan tersebut diatas.

Selain berkenaan dengan ketidak kompetenan dalam perhitungan terhadap penghitungan kerugian negara, terdapat fakta-fakta yang dikesampingkan oleh Kejaksaan Agung dalam menetapkan pihak smelter sebagai Tersangka mengacu pada-fakta dibawah ini :

Pembayaran dilakukan berdasarkan kontrak kerja dan perintah kerja dari PT.Timah Tbk

Pembayaran dilakukan oleh PT.Timah Tbk setelah prestasi diserahkan yakni bijih timah dan hasil peleburan timah.

Logam timah telah diekspor oleh PT.Timah Tbk dengan mendapatkan devisa dan pembayaran pajak maupun non Pajak (PNBP) serta keuntungan PT.Timah Tbk

Sumber Dana bukan dari APBN tapi dari pinjaman Bank yang sudah terselesaikan sepenuhnya termasuk kewajiban bunga. Bahkan bunga Bank sebagian ditanggung oleh Mitra penerima kerja

Dikatakan bahwa pembayaran tersebut tidak semestinya dilakukan karena Illegal dari rakyat yang menambang di IUP PT.Timah Tbk dan ada lebih bayar (kemahalan) harga sewa smelter

UU No.3 Tahun 2020 Pasal 158, dinyatakan Illegal bila menambang tidak memiliki IUP. Sementara rakyat saat itu bekerja di wilayah IUP dan diberikan ijin oleh pemilik IUP.

Harga sewa smelter berdasarkan perjanjian kerjasama yang disepakati oleh kedua belah pihak yang tidak pernah terjadi wanprestasi.

Sesuai peraturan Perundang Undangan yang berlaku, perbaikan lingkungan untuk eks Tambang namanya adalah REKLAMASI dimana adalah menjadi kewajiban pemilik/pemegang WIUP dan sudah menempatkan jaminan reklamasinya.

SEHINGAGA BERDASARKAN URAIAN TERSEBUT DIATAS DIMANA LETAK KERUGIAN NEGARANYA ?

APAKAH BENAR TANGGUNG JAWAB LINGKUNGAN DIBEBANKAN KEPADA MITRA PENERIMA KERJA DARI PT.TIMAH TBK SEBAGAI PEMEGANG IUP ?

APAKAH PENEGAKKAN HUKUM KASUS  TATANIAGA TIMAH MEMPUNYAI NILAI-NILAI BERKEADILAN?

(Red/*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.