Penulis : Putri Kenanga, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
KEANEKARAGAMAN hayati telah menjadi salah satu perhatian dunia saat ini, hal ini ditandai dengan kehilangan beberapa keanekaragaman hayati, akibat rusaknya habitat alami karena alih fungsi lahan, polusi dan perubahan iklim.
Selain itu, perburuan dan penangkapan satwa liar juga menjadi ancaman tersendiri bagi keberadaan satwa liar. Hingga saat ini International Union for Conservation of Nature atau lebih dikelal sebagai IUCN Red List of threatened species terus berupaya memperbarui status konservasi spesies.
Sebanyak 723 satwa tercatat punah (Extinct), kemudian 38 satwa telah punah di alam liar atau habitat aslinya (Extinct In The Wild), sebanyak 1.742 satwa berstatus terancam punah terancam dalam waktu dekat (Critically Endangered).
Kepululauan Bangka Belitung saat ini juga sudah memiliki daftar hitam satwa liar yang perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan secara hukum, terutama satwa liar yang terancam punah dalam waktu dekat.
Hingga kini hutan Bangka yang menajdi rumah bagi satwa liar tersebut telah banyak dikonversi menjadi tambang timah, perkebunan sawit dan pemukiman dimana sebanyak kurang lebih 70 % hutan Bangka telah terekploitasi dan terdegradasi, sehingga satwa liar kehilangan habitat dan tempat berlindung serta tempat untuk mencari makan.
Keadaan ini akan sangat mempengaruhi keberlangsungan hidup dari satwa-satwa liar yang ada. Selain itu aktifitas perdagangan gelap atas satwa liar asli Kepuluan Bangka juga menjadi momok tersendiri dan dapat mempengaruhi populasi dari satwa liar.
Beberapa satwa liar diketahui semakin sulit ditemukan di Kepulauan Bangka saat ini diantaranya adalah Mentilin (Cephalopachus bancanus) yang mana populasinya terus menurusn dan bertatus Vulnerable atau rentan terjadi kepunahan dalam waktu dekat berdasarkan IUCN Red List of threatened species. Selanjutnya ada juga jenis Kukang (Nycticebus bancanus), Trenggiling (Manis javanica), dan Kijang (Muntiacus muntjak) yang saat ini telah berstatus terancam punah (Critically Endangered).
Selain satwa, ada beberapa jenis ikan air tawar yang juga terdampak oleh kerusakan lingkungan di Kepulauan Bangka, dimana terdapat sebanyak 9 spesies ikan endemik air tawar yang berstatus terancam punah seperti Wild Betta Burdigala, Wild Betta schalleri, Parosphromenus deissneri, Encheloclarias tapeinopterus, Wild betta chloropharynx, Sundadanio gargula, dan Parosphromenus Julinae. Dan tentunya masih banyak lagi hewan liar lainya yang juga terdampak akibat rusaknya lingkungan dan perburuan satwa baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun yang menjadi permasalahan saat ini adalah tidak ada undang-undang khusus yang mengatur perlindungan satwa liar secara mendalam di Indonesia, termasuk perlindungan satwa liar di Kepulauan Bangka. Penegakan hukum dalam perlindungan satwa liar di Indonesia-pun juga sangatlah rendah sebagai contoh, kasus perdagangan sisik trenggiling sebanyak 6,3 kilogram, melibatkan tiga pelaku yang ditangkap pada tanggal 19 Agustus 2019, dimana Pengadilan Negeri Banda Aceh hanya memberi hukuman selama 2,6 tahun penjara dan denda Rp50 juta. Padahal UU No 5 Tahun 1990, Pasal 40 ayat 2 jelas mengatur:
“Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat [1] dan ayat [2] [menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup] serta Pasal 31 ayat [3] dipidana penjara paling lama 5 [lima] tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 [seratus juta Rupiah].
Selain itu, yang sangat disayangkan adalah UU No 5 Tahun 1990 ini juga tidak membahas langkah-langkah pencegahan yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah ancaman kepunahan satwa liar dan kerusakan habitat yang disebabkan oleh pembangunan di kawasan hutan.
Ditambah lagi, UU No. 5 Tahun 1990 tidak mengatur pemerintah untuk mengalokasikan dana nasional untuk keperluan pemeliharaan satwa dan habitatnya. Juga tidak membahas penetapan pengolahan satwa dilindungi oleh pemerintah. Dan juga tidak berbicara tentang bagaimana mengendalikan jumlah satwa yang tidak dilindungi untuk keseimbangan ekosistem.
Dalam perlindungan satwa liar, pemerintah Indonesia memasukkan kewajiban konservasi satwa ke dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya. Namun, peraturan perundang-undangan ini tidak secara komprehensif memberikan perlindungan terhadap satwa liar terutama untuk mencegah dampak negatif pembangunan; sebaliknya itu hanya mengatur tugas perlindungan di area yang ditentukan.
Sebaliknya, Indonesia tidak memiliki undang-undang yang mengatur alokasi anggaran nasional untuk tujuan sistem konservasi; hal ini menyebabkan kurangnya kerangka hukum tentang kewajiban untuk melindungi satwa liar. Singkatnya, kerangka hukum perlindungan satwa liar di Indonesia masih mengalami kekurangan. Hal ini sangat berbeda dengan hukum perlindungan satwa liar di Amerika Serikat (AS).
Amerika Serikat memiliki kerangka hukum langsung untuk melestarikan spesies yang terancam punah yaitu Endangered Species Act (ESA). The Endangered Species Act (“ESA”) adalah undang-undang federal yang diberlakukan pada tahun 1973 untuk melindungi spesies yang terancam punah.
Terdapat tiga departemen berbeda dari pemerintah federal mengelola ESA yaitu the Department of Interior (Hewan yang terancam punah secara umum), the Department of Commerce (Mamalia laut), and the Department of Agriculture (Tanaman). Berdasarkan Undang-Undang Endangered Species Act (ESA), badan federal memiliki kewajiban untuk melestarikan spesies yang terancam punah dan menetapkan proses “pendaftaran” spesies yang terancam punah, melarang “pengambilan” spesies yang terancam punah, dan juga menunjuk habitat kritis untuk spesies spesies yang terancam punah, dan termasuk tanah yang saat ini ditempati oleh spesies yang terdaftar (terancam punah) dan tanah yang penting untuk kelangsungan dan keberadaannya di masa depan.
Undang-Undang Endangered Species Act (ESA), melarang siapa pun termasuk agen federal untuk “mengambil” spesies yang terdaftar dan/atau terancam; “mengambil” berarti membunuh, berburu, menyakiti, atau melecehkan. Pengecualian untuk tindakan “mengambil” hanya untuk tujuan penelitian ilmiah dan pengambilan insidentil dan penentuan pengecualian ini harus dilakukan melalui konsultasi. Ketentuan ESA ditegakkan melalui gugatan warga negara, serta melalui hukuman perdata dan pidana. Pelanggaran pidana dapat mengakibatkan hukuman penjara dan denda hingga $ 50.000.
Pelanggaran perdata terhadap ketentuan utama dapat mengakibatkan denda $25.000 (melanggar pelanggaran) atau denda $12.000. Pelanggaran ketentuan kecil, izin, atau peraturan dapat dikenakan denda $500.
Poin kekuatan lain dari kerangka kerja Amerika Serikat tentang perlindungan satwa liar adalah AS telah membentuk Sistem Suaka Margasatwa Nasional di mana lahan federal dialokasikan untuk pelestarian habitat, pendanaan federal untuk pengelolaan satwa liar di bawah Rencana Pembebasan Lahan Nasional, dan beberapa sistem pengelolaan lahan federal lainnya, seperti kawasan hutan belantara, sungai liar dan indah, dan taman nasional. Selain itu, AS memberikan perlindungan yang lebih berlapis kepada satwa liar dalam pengelolaan hutannya.
Misalnya, dalam menerbitkan izin pemanfaatan khusus atau rencana pengelolaan hutan, lembaga tindakan harus mematuhi beberapa undang-undang di mana undang-undang itu saling terkait; mereka harus mematuhi NFMA, NEPA dan ESA. Badan aksi harus memastikan keanekaragaman tumbuhan dan hewan yang diamanatkan oleh NFMA, harus menyiapkan EIS (ketika tindakan berdampak buruk terhadap lingkungan manusia) yang diatur di bawah NEPA, dan harus mematuhi persyaratan ESA dan memberikan penilaian biologis di bawah ESA.
Kesimpulannya adalah, AS memiliki undang-undang yang lebih baik dan telah mengambil langkah-langkah yang cukup bijak dalam memastikan pelestarian habitat dan satwa liar yang dapat dijadikan refrensi untuk Indonesia. Memang, Indonesia juga telah mengambil beberapa langkah untuk melindungi satwa liar dengan memberikan sanksi pidana dalam undang-undang konservasi bagi mereka yang melakukan kegiatan perburuan satwa liar, namun, undang-undang tersebut tidak secara tegas mencegah satwa liar dari ancaman kepunahan akibat alih fungsi lahan.
Kepulauan Bangka adalah salah satu daerah dengan alih fungsi lahan cukup besar akibat penambangan timah terbuka dan terdapat banyak satwa liar yang kehilangan habitat sehingga penurunan populasi terjadi secara signifikan bahkan beberapa spesies terancam punah.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mereformasi dan atau membuat undang-undang perlindungan satwa liar baru dengan belajar dari apa yang telah dilakukan AS melalui The Endangered Species Act (ESA).