Peran Krusial Mediasi Berbasis Kearifan Lokal dalam Peradilan Agama

Oleh: Sembiring, Rachel (Mahasiswi Universitas Bangka Belitung/Fakultas Hukum)

0 5

Babeltoday.com|Bangka Belitung – Dalam praktik Peradilan Agama, integrasi mediasi dengan kearifan lokal merupakan aspek yang sering terabaikan namun sangat penting. Sistem mediasi yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 sebenarnya membuka ruang besar untuk penerapan pendekatan yang lebih kontekstual dengan budaya setempat.
Mediasi berbasis kearifan lokal memiliki beberapa keunggulan kritis yang jarang didiskusikan:
Pertama, pendekatan ini mengurangi keterasingan para pihak terhadap proses hukum formal. Sebagai contoh, di beberapa daerah seperti Aceh, konsep “suloh” (perdamaian) bisa diintegrasikan ke dalam proses mediasi di Peradilan Agama. Di Minangkabau, konsep “bajanjang naiak batanggo turun” (penyelesaian berjenjang) dapat diadopsi untuk memperkuat proses mediasi. Sementara di Jawa, nilai “rukun agawe santosa” (kerukunan membawa ketentraman) dapat menjadi filosofi penguatan mediasi.
Kedua, mediasi berbasis kearifan lokal sering memiliki legitimasi sosial yang lebih kuat. Keputusan yang dihasilkan tidak hanya memiliki kekuatan hukum, tetapi juga dihormati sebagai bagian dari nilai komunal, sehingga tingkat kepatuhan terhadap hasil mediasi meningkat signifikan.
Ketiga, pendekatan ini menawarkan efisiensi biaya dan waktu yang jarang dibahas. Proses mediasi yang memanfaatkan tokoh-tokoh adat atau agama setempat sebagai co-mediator dapat mempercepat pencapaian kesepakatan karena adanya kepercayaan yang telah terbangun.
Keempat, aspek perlindungan privasi keluarga yang menjadi prioritas dalam kearifan lokal sejalan dengan prinsip Islam tentang menjaga aib keluarga. Hal ini memberikan rasa aman psikologis bagi para pihak yang bersengketa.
Sayangnya, belum ada standardisasi atau panduan praktis bagi hakim mediator untuk mengintegrasikan aspek kearifan lokal ini, meskipun potensial meningkatkan keberhasilan mediasi yang saat ini tingkat keberhasilannya masih di bawah 30% di sebagian besar Pengadilan Agama.
Urgensi pengembangan model mediasi berbasis kearifan lokal ini semakin relevan mengingat meningkatnya kompleksitas perkara keluarga di era digital, di mana pendekatan konvensional sering tidak mampu menjangkau akar permasalahan yang bersifat kultural dan relasional. (Red/*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.