Peran Peradilan Agama dalam Menjamin Keadilan Bagi Perempuan dalam Sengketa Perkawinan

Oleh: Bela Dewanti Junaedi (Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung)

0 17

Babeltoday.com|Bangka Belitung – Selasa, 6 Mei 2025

Peradilan Agama di Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis dalam penyelesaian sengketa perkawinan, khususnya bagi umat Islam. Dalam berbagai kasus yang berujung pada perceraian, hak asuh anak, nafkah, dan harta bersama, perempuan seringkali berada dalam posisi yang lebih rentan dibandingkan laki-laki.

Peradilan Agama tidak hanya menjadi lembaga formal yang menyelesaikan perkara hukum, tetapi juga menjadi terakhir yang menjamin keadilan bagi perempuan yang seringkali terpinggirkan dalam struktur sosial dan budaya patriariaki.

Perkawinan sebagai institusi sosial dan hukum memiliki implikasi yang luas terhadap hak dan kewajiban masing-masing pihak, khususnya perempuan.

Di Indonesia, di mana sebagian besar masyarakatnya beragama Islam, Peradilan Agama berperan dalam menyelesaikan sengketa perkawinan, semuanya diatur dan diputuskan melalui mekanisme peradilan ini.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, memberikan dasar hukum yang kuat bagi perempuan untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan dalam perkara keluarga.

Melalui peradilan ini, perempuan dapat mengajukan gugatan cerai (cerai gugat), menuntut nafkah, meminta hak asuh anak, hingga menuntut pembagian harta bersama.

Bahkan, Mahkamah Agung melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) telah memberikan arah interpretatif yang cenderung lebih progresif terhadap perlindungan hak-hak perempuan.

Namun masih banyak tantangan yang dihadapi perempuan dalam mengakses keadilan. Salah satunya adalah ketimpangan informasi dan pemahaman hukum.

Tidak semua perempuan, terutama yang berasal dari daerah pedesaan atau berlatar belakang pendidikan rendah, memahami hak-hak yang dimilikinya dalam perkawinan.

Selain itu, beban sosial dan budaya patriaki yang kuat sering kali menempatkan perempuan dalam posisi lemah, misalnya, dalam kasus perceraian, meskipun suami memiliki hak untuk menjatuhkan talak, hakim seharusnya menilai secara objektif alasan-alasan perceraian dan dampaknya terhadap istri dan anak.

Hakim juga dapat menggunakan prinsip-prinsip maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat) untuk memastikan bahwa keadilan dan perlindungan terhadap yang lemah dapat terwujud.

Namun demikian, sebagai mahasiswa hukum dan bagian dari generasi muda yang peduli terhadap isu keadilan, kita memiliki peran strategis dalam mendorong reformasi hukum yang lebih berperspektif gender, juga menjadi tempat menegakkan keadilan yang sejati terutama bagi perempuan yang selama ini sering menjadi korban ketimpangan relasi kuasa dalam rumah tangga.

Sebagai penutup, Peradilan Agama memiliki potensi besar untuk menjadi pelindung hak-hak perempuan dalam sengketa perkawinan. Namun, untuk mewujudkan keadilan yang sejati, dibutuhkan upaya bersama dalam memperbaiki regulasi, praktik peradilan, serta kesadaran sosial.

Hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang menindas, tetapi harus menjadi jalan pembebasan, terutama bagi mereka yang paling membutuhkan perlindungan perempuan. (Red/*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.