BABELTODAY.COM, (PANGKALPINANG) – Kawasan Hutan Produksi Kotawaringin, yang seharusnya menjadi penjaga kelestarian alam, kini menjadi pusat perhatian akibat dugaan korupsi yang melibatkan perusahaan perkebunan swasta. Penyelidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung (Kejati Babel) telah mengungkapkan bukti-bukti yang mengarah pada indikasi suap dan penyalahgunaan wewenang. Senin (20/5/2024)
Perusahaan yang tengah terseret dalam sorotan adalah PT Fenyen Agro Lestari (FAL), yang diduga terlibat dalam pengelolaan lahan negara di Kawasan Hutan Produksi Kotawaringin, Kecamatan Puding Besar, Kabupaten Bangka. Direktur PT FAL, yang hanya disebutkan dengan inisial Jo, telah menjalani pemeriksaan sebanyak dua kali oleh pihak berwenang.
Berdasarkan data Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR), PT FAL telah memperoleh izin untuk mengelola lahan perkebunan seluas ± 834,4 hektar di dalam kawasan Hutan Produksi.
Namun, fakta bahwa izin tersebut diperoleh menjadi pertanyaan besar, karena terdapat dugaan bahwa perusahaan telah memberikan suap kepada beberapa pejabat Kabupaten Bangka.
Informasi yang berhasil dihimpun menunjukkan bahwa beberapa pejabat Kabupaten Bangka diduga menerima suap dengan nilai milyaran rupiah untuk memuluskan perizinannya.
Salah satu pejabat yang disebutkan dalam skandal ini adalah Hr, yang merupakan anggota tim telaah. Saat dimintai konfirmasi, Hr hanya memberikan jawaban singkat yang menghindari substansi dari tuduhan tersebut.
Proses konfirmasi dengan Direktur PT FAL, Joni, juga sedang berlangsung melalui pesan WhatsApp untuk mendapatkan tanggapan resmi terkait pemeriksaan yang sedang dilakukan oleh pihak berwenang. Namun, hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi yang diterima terkait hal tersebut.
Penting untuk dicatat bahwa persetujuan PKKPR seharusnya didasarkan pada pemenuhan beberapa persyaratan, termasuk aspek lingkungan, partisipasi masyarakat setempat, pembangunan berwawasan lingkungan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan koordinasi dengan instansi terkait. Namun, dugaan adanya suap menimbulkan keraguan akan kesahihan proses perizinan tersebut.
Korupsi di sektor ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak ekosistem dan lingkungan hidup. Sudah menjadi tugas negara dan masyarakat untuk memberantas praktik korupsi yang merajalela demi menjaga keberlangsungan lingkungan dan keadilan sosial.
Skandal ini menunjukkan bahwa masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama dalam sektor hutan dan perkebunan. (KBO-Babel/tim)