BabelToday.com, Simalungun – Momen bersejarah terjadi di Nagori Panombean Huta Urung, Kecamatan Jorlang Hataran, Kabupaten Simalungun. Areal seluas 47 hektar yang sebelumnya masuk dalam kawasan hutan berdasarkan Peta Lampiran SK Menteri Kehutanan No. SK.579/Menhut-II/2014 kini secara resmi dikeluarkan dari kawasan hutan. Proses pencabutan plang kehutanan dilakukan langsung oleh Dinas Kehutanan melalui KPH Wilayah II Pematangsiantar yang diwakili oleh Bapak Tigor Siahaan, S.Hut, bersama timnya.
*Proses Pencabutan Plang Berjalan Lancar*
Pencabutan plang dilakukan dengan disaksikan oleh berbagai pihak, termasuk perwakilan Kejaksaan Simalungun, manajemen PTPN IV Palmco Unit Bah Birong Ulu, masyarakat pejuang pemohon Indikatif TORA, serta aparat keamanan dari Polsek Tiga Balata, Polres Simalungun, dan Koramil Balata, Rabu (18/12/2024).
Acara berlangsung dengan tertib, dan masyarakat menyambut baik keputusan ini. Mereka menganggapnya sebagai langkah maju dalam perjuangan mendapatkan hak atas tanah yang telah lama menjadi polemik.
“Lepasnya lahan ini dari kawasan hutan merupakan hasil perjuangan kami selama ini. Kami tinggal menunggu kepastian hukum atas kepemilikan melalui Program TORA,” ungkap Kristians Nabaho, salah satu perwakilan masyarakat pemohon Indikatif TORA.
*Tanggapan Pihak Kehutanan dan Polemik dengan PTPN IV*
Meski demikian, situasi mulai memanas ketika Jaksa dari Kejaksaan Simalungun, Daniel Ronaldo Hutabarat, SH, mempertanyakan apakah pihak PTPN IV dapat melakukan pemanenan di lahan tersebut. Menanggapi hal ini, Bapak Tigor Siahaan menegaskan bahwa meskipun areal tersebut telah keluar dari kawasan hutan dan masuk dalam Area Penggunaan Lain (APL), aktivitas pemanenan tidak dapat dilakukan tanpa perizinan resmi.
“Areal ini sudah berada di luar kawasan hutan dan telah dikeluarkan dari HGU sebelumnya. PTPN IV tetap harus mengurus perizinan sebelum melakukan aktivitas pemanenan,” jelas Tigor Siahaan.
Namun, Jaksa Daniel Ronaldo Hutabarat mendesak agar pihak perkebunan tetap diizinkan melakukan pemanenan dengan alasan tanaman sawit di lahan tersebut adalah milik PTPN IV.
*Masyarakat Menolak Pemanenan oleh PTPN IV*
Masyarakat dengan tegas menolak desakan tersebut. Mereka berpegang pada legalitas hak atas tanah yang telah diterbitkan oleh Pangulu Nagori Panombean Huta Urung, Fransiskus Siallagan, SH.
“Kami memiliki dasar hukum yang jelas atas tanah ini. Jika PTPN IV memaksakan untuk memanen sawit tanpa HGU, maka itu adalah tindakan ilegal,” ujar Kristians Nabaho.
Menurutnya, Jaksa seharusnya fokus mengejar kerugian negara akibat PTPN IV yang tidak membayar pajak selama bertahun-tahun karena tidak memiliki HGU.
*Kritik dari Ketua LMHI Simalungun*
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Lembaga Monitoring Hukum dan Anggaran Indonesia (LMHI) Siantar-Simalungun, Hernandes Silalahi, turut mengecam tindakan Pangulu Nagori Panombean Huta Urung dan aparat yang dinilainya lebih memihak perusahaan daripada masyarakat.
“Saya sangat menyayangkan kejadian ini. Pangulu tidak membela masyarakatnya, malah menjadi provokator yang memicu konflik antarwarga. Ia dan aparatnya justru terlihat mendukung PTPN IV yang jelas-jelas tidak memiliki HGU atas areal 47 hektar ini,” ungkap Hernandes, Kamis (19/12/2024).
Ia juga mendesak agar pihak berwenang memeriksa kejaksaan, Pangulu, dan Polres Simalungun yang diduga tidak bersikap netral dalam menangani kasus ini.
“Kami menduga ada udang di balik batu. Setiap kali kami meminta dokumen resmi dari kejaksaan atau kepolisian, mereka enggan memberikan jawaban yang memadai. Ini menunjukkan ada hal yang tidak transparan,” tambah Hernandes.
*Harapan Masyarakat*
Masyarakat berharap pemerintah segera menyelesaikan konflik ini secara adil dan transparan. Mereka juga menuntut agar aparat penegak hukum menindak tegas segala bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PTPN IV, termasuk jika perusahaan tetap memaksakan pemanenan tanpa HGU.
Kasus ini mencerminkan tantangan besar dalam memastikan keadilan sosial bagi masyarakat lokal, terutama ketika berhadapan dengan perusahaan besar. Sementara masyarakat menantikan kepastian hukum atas tanah mereka melalui Program TORA, polemik yang terjadi menuntut perhatian serius dari pihak-pihak terkait. (Zulfiandi PJS Pematang Siantar)