DEWASA ini, pelajar mendapat tantangan luar biasa dari keadaan yang begitu menyulitkan dalam kegiatan belajar mengajar. Secara formal, pelajar di masa pandemi ini sulit untuk dapat menikmati sentuhan-sentuhan langsung dari guru yang mengajar dikelas atau lingkungan sekolahnya.
Ditambah lagi sistem pendidikan yang menuntut kemandirian siswa belajar di era pandemi ini justru menjadi bumerang hingga membuat peran guru dan sekolah terkesan hanyalah sebagai pelaku dan lembaga evaluator semata bukan sebagai fasilitator.
Banyaknya tugas yang diberikan secara mandiri tanpa adanya bimbingan-bimbingan sebelumnya seolah ‘mengangkangi’ makna proses belajar mengajar itu sendiri. Anak terfokus mengejar nilai, terbagi fokus demi meluluskan semua mata pelajaran yang dituntut sebagai syarat untuk kelulusan pelajar, hingga mereka bingung bagaimana semua itu bisa bermakna lama pada kehidupan mereka.
Sekolah formal tentu memiliki segudang fasilitas untuk mengasah talenta akademik maupun non akademik, punya banyak guru yang berperan dalam segala bidang termasuk merumuskan minat dan bakat anak didiknya.
Namun faktanya, banyak anak lulusan SMA justru bingung memprioritaskan arah kemampuannya sendiri hingga bingung merumuskan cita-cita kedepannya. Ini menjadi pekerjaan baru mengenai indikator keberhasilan sistem pendidikan kita di Indonesia ini.
Disisi lain, kurikulum yang ada sekarang ini menuntut adanya penekanan dalam pendidikan karakter namun nyatanya dalam realisasinya malah mempersempit ruang untuk mengembangkan karakter di masyarakat dengan kebijakan Fullday School.
Awalnya, harapan dari sistem Fullday School yang diterapkan disekolah-sekolah agar mereka bisa memiliki banyak waktu untuk mengasah karakter-karakter baik yang diharapkan tumbuh didalam diri pelajar ini.
Namun justru kebijakan ini dirasa kurang tepat jika itu menyangkut perkembangan karakter peduli di lingkungan kemasyarakatan. Para pelajar ini justru kehilangan banyak waktu di lingkungan masyarakatnya yang seharusnya menjadi tempat dengan porsi waktu terbesar untuk mengembangkan sekaligus mempraktekkan pembelajaran karakter pelajar ini sendiri.
Dikutip dari laman masterplan desa, Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi pada tahun 2030 hingga tahun 2040, dimana jumlah penduduk usia produktif yang berusia antara 15 hingga 64 tahun lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun.
Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. Angka tersebut menjadi aset bagi Indonesia agar nantinya bisa lebih berkembang dengan peran generasi muda yang menjadi penerus kemajuan bangsa.
Mirisnya, prediksi ini justru diikuti dengan fakta meningkatnya tingkat perbuatan menyimpang yang dilakukan para pelajar berusia remaja. Sebagaimana dilansir oleh laman Sindonews, Badan Narkotika Nasional menyatakan bahwa pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,1 juta orang dimana 40% diantaranya berasal dari kalangan mahasiswa dan pelajar.
Permasalahan yang terjadi seperti kenakalan remaja, narkoba, rendahnya keikutsertaan remaja dalam setiap pembangunan, dan sikap apatis terhadap kegiatan-kegiatan di masyarakat nampaknya perlu adanya penanganan yang serius.
Jangan sampai kebijakan Fullday School yang tadinya justru bertujuan untuk meningkatkan karakter pada pelajar, justru menjadi penyebab berkurangnya peran pelajar dalam segala bentuk kegiatan masyarakat sehingga kepedulian pelajar akan masyarakatnya menjadi melemah. Lalu bagaimana menumbuhkan dan mengembangkan karakter pelajar sekaligus memaksimalkan perannya di masyarakat?
Salah satu solusi yang patut dikaji dan dicobakan adalah peran guru dilingkungannya bersama otoritas di wilayahnya masing-masing untuk menjadi pembina dalam membangun organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti karang taruna, komunitas pelajar, komunitas seni, remaja masjid, majelis ta’lim, komunitas olahraga tertentu yang melibatkan pelajar sehingga mampu menjadi wadah pembinaan untuk generasi muda sekaligus berkontribusi terhadap penyelesaian persoalan bangsa terutama di daerahnya sendiri. Tentu ada beberapa alasan sehingga solusi ini dapat menjadi pertimbangan bagi daerah yang ingin membina generasi mudanya.
Pelajar yang di dominasi usia remaja memiliki kecenderungan senang berkumpul bersama teman-teman sebayanya. Disinilah tantangannya dimana pembina dituntut untuk mencari cara bagaimana organisasi masyarakat tadi bisa menjadi wadah tongkrongan namun secara tersirat maupun tersurat mampu memberikan contoh-contoh pengalaman nyata tentang pembelajaran karakter yang ingin dicapai. Peran pembina atau guru dalam organisasi sebagai wadah tongkrongan ini sangatlah vital.
Dengan keterbukaan informasi sekarang ini, materi-materi anak-anak tongrongan ini tentu dibuka dengan hal-hal yang paling up to date. Bisa tentang artis, olahragawan idola, video viral, film terbaru, dan lain sebagainya sebagai stimulus awal memulai menyiratkan suatu pembelajaran. Sebuah tantangan tersendiri bagi pembinanya untuk selalu tau hal-hal viral tersebut demi terus mendekatkan diri bersama mereka sebelum menyelipkan berbagai materi-materi pembelajaran, motivasi, dan lain sebagainya untuk disampaikan kepada mereka.
Inilah yang sulit diterapkan dalam pengembangan karakter jika hanya dilakukan di sekolah-sekolah semata, selain keterbatasan waktu, tentu ada hal-hal di sekolah yang tak sebebas ketika diluar sekolah untuk dilakukan.
Pelajar dalam usia dengan kestabilan emosi yang cenderung turun naik akan sangat menolak jika apa yang kita sampaikan menuntut perubahan instan dengan hanya menghadirkan sebuah teori baku tanpa adanya hal-hal kontekstual dan proses pendekatan-pendekatan tertentu.
Pemahaman tentang baik dan buruk, salah dan benar, dosa dan pahala tidak akan bertahan lama jika diajarkan dengan tujuan ketakutan bukan ketaatan. Disinilah pentingnya pembina untuk terus bergaul bersama mereka didalam organisasi yang dibangunnya di masyarakat.
Pelajar-pelajar ini akan lebih santai dalam menyampaikan permasalahan dan kesalahan-kesalahan mereka tanpa harus takut akan di vonis jelek oleh guru atau pembinanya. Memang membutuhkan proses yang cukup panjang agar mereka benar-benar yakin bahwa kita sebagai pembina tidaklah risih jika mereka melakukan kesalahan namun justru terus memotivasi agar mereka berjuang untuk terus memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dimaksud.
Emosi yang belum stabil tadi juga mempengaruhi minat dan kecendrungan pelajar sehingga sulit untuk menentukan arah cita-citanya. Peran pembina sebagai kawan dilingkungan masyarakatnya sangat berarti dalam perkembangan tujuan hidup pelajar-pelajar ini.
Menghasilkan manusia-manusia muda yang sukses secara pribadi dan berperan terhadap masyarakat tentu membutuhkan dukungan dari beberapa pihak, baik disekolah maupun dilingkungan masyarakat.
Kesuksesannya bukanlah sebagai indikator betapa superiornya sebuah lembaga, bukan pula indikator betapa tangguhnya peran satu orang guru semata jika kita memahami ternyata betapa banyaknya yang berperan didalam kesuksesan anak-anak ini.
Membangun dan membina wadah berupa organisasi masyarakat yang melibatkan para pelajar didalamnya juga sama pentingnya dengan segala program formal yang ada di sekolah-sekolah demi mencegah krisis karakter pada pelajar-pelajar di Indonesia.
Organisasi-organisasi ini diharapkan menjadi wadah belajar sekaligus ruang pelajar dalam berperan membangun daerahnya sendiri. Sudah sewajarnya pula porsi waktu belajar di sekolah dan di masyarakat berorientasi pada pelajar itu sendiri, bukan pada hal teknis lain demi kemajuan karakter generasi muda Indonesia.
Penulis : Kartio S.Pd.,MM.
(Pembina Komunitas Pelajar Desa Serdang)