Pemerintah Siapkan Aturan Denda Damai untuk Tingkatkan Efektivitas Hukum

0 6

BabelToday.com, Jakarta – Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengungkapkan bahwa mekanisme ‘Denda Damai’ kini menjadi salah satu opsi penyelesaian kasus tindak pidana ekonomi. Mekanisme ini memungkinkan penghentian perkara di luar pengadilan dengan pembayaran denda yang disetujui oleh Jaksa Agung.

Tindak pidana ekonomi yang dapat diselesaikan melalui Denda Damai meliputi kepabeanan, cukai, dan perpajakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 yang diadopsi ke dalam Pasal 35 (1) huruf K Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan.
“Ini hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi, misalnya kepabeanan, cukai, dan perpajakan. Jadi, bukan untuk tindak pidana korupsi (tipikor),” tegas Harli kepada Kompas.com, Kamis (26/12/2024).

Efisiensi Penanganan Kasus
Menurut Harli, Denda Damai menjadi solusi alternatif untuk kasus tindak pidana ekonomi yang melibatkan kerugian negara dalam jumlah minimal. Penanganan kasus melalui pengadilan dinilai seringkali memakan biaya lebih besar dibandingkan kerugian yang ditimbulkan.

“Jika kerugian negara atas kejahatan kecil dan biaya penanganannya lebih besar, maka Denda Damai bisa lebih menguntungkan negara. Misalnya, dendanya empat atau lima kali lipat dari kerugian yang dialami negara,” jelas Harli.

Namun, hingga saat ini belum ada kasus tindak pidana ekonomi yang diselesaikan dengan mekanisme ini. Hal tersebut, menurut Harli, disebabkan karena implementasi Denda Damai masih tergolong baru di dalam regulasi kejaksaan.
“Sampai sekarang belum ada penyelesaian kasus dengan Denda Damai, termasuk di kepabeanan. Dasarnya jelas di undang-undang, tetapi implementasinya masih perlu dirumuskan,” tambahnya.

Kontroversi Denda Damai untuk Kasus Korupsi
Pernyataan Harli tentang cakupan Denda Damai yang terbatas pada tindak pidana ekonomi berbeda dengan pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Supratman Andi Agtas. Sebelumnya, Supratman menyatakan bahwa mekanisme Denda Damai juga dapat digunakan untuk kasus korupsi.

Menurut Supratman, kewenangan Denda Damai yang dimiliki oleh Jaksa Agung memberikan ruang untuk penyelesaian perkara korupsi tanpa melalui pengadilan.

“Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya Denda Damai,” ujar Supratman, Rabu (25/12/2024).

Pernyataan ini menuai perdebatan di tengah masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan apakah penggunaan mekanisme Denda Damai untuk tindak pidana korupsi dapat dibenarkan secara moral dan hukum.

Amnesti untuk Narapidana
Selain Denda Damai, pemerintah juga merencanakan pemberian amnesti kepada sekitar 44.000 narapidana. Usulan tersebut telah diajukan kepada Presiden Prabowo Subianto.

Menurut Supratman, amnesti ini bertujuan untuk memberikan pengampunan terhadap narapidana dalam beberapa kategori, termasuk pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Beberapa kasus yang terkait dengan penghinaan terhadap kepala negara atau pelanggaran UU ITE, Presiden meminta untuk diberi amnesti,” kata Supratman.

Mekanisme yang Masih dalam Proses
Meskipun Denda Damai diakui sebagai salah satu instrumen penyelesaian kasus tindak pidana ekonomi, hingga kini penerapannya masih dalam tahap perumusan.

Pemerintah dan Kejaksaan Agung disebut sedang menyusun aturan teknis yang akan menjadi pedoman pelaksanaan mekanisme ini.

Harli menekankan bahwa Denda Damai harus diterapkan dengan mempertimbangkan prinsip keadilan dan manfaat bagi negara. “Yang penting adalah memastikan bahwa negara tidak dirugikan, baik secara materiil maupun prinsip hukum,” tutup Harli. (Sumber : Kompas, Editor : KBO Babel)

Leave A Reply

Your email address will not be published.